-->

Notification

×

Iklan

IDUL KURBAN MEMUPUK SPIRIT “KEPAHLAWANAN”

Saturday, November 5, 2011 | Saturday, November 05, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-11-05T07:52:47Z
Oleh: Taufik, S. Ag
Momentum peringatan hari raya Idul Adha tahun ini sangat special karena berdekatan waktunya dengan Hari Pahlawan. Idul Adha (Idul Kurban) berdasarkan hasil sidang Itsbat Kemenag RI bahwa 10 Julhijjah tahun 1432 H jatuh pada hari Ahad tanggal 6 Nopember 2011 Masehi sedangkan hari Pahlawan tepat pada tanggal 10 Nopember 2011 (empat hari setelah idul Adha). Idul Adha mengandung muatan ajaran tentang keharusan seorang muslim
berkorban dengan dengan harta berupa hewan semeblihan (mungkin juga dengan harta yang paling dicintai) untuk mencari keridaan Allah, memiliki rasa simpati terhadap problema hidup orang lain, solidaritas dan setia kawan, serta berbagi rasa terhadap sesama umat islam bahkan sesama umat manusia. Berarti Idul Adha membawa message dan mission untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan yang berdiri di atas fondasi nilai Ilahiyyah.
Manifestasi dari nilai kemanusiaan/huma¬nitas (humanity : inggris , Insaniyyah : Arab) secara horizontal direalisasikan dengan mem¬ba¬gikan daging hewan kurban kepada sesama, sedangkan secara vertikal mengandung nilai ilahiyyah bahwa kurban harus diawali dan dilan¬dasi dengan nilai “Takwa” dan dan akhiri pula dengan nilai “Takwa” kepada Sang Khalik. Daging kurban adalah sebuah “symbol” ldul Adha, tanpa adanya hal itu maka belum bisa disebut dengan sebutan sakral itu, dari sebuah symbol itu menginspirasi sebuah pengorbanan yang lebih besar dan lebih tinggi nilainya, tentu pengorbanan yang besar itu tidak bermakna tanpa hadir dengan nilai dan prinsip “Takwa” plus “Ikhlas” . Pendek kata, menurut penulis bahwa Ibadah Kurban adalah mengandung dimensi ibadah social dan dimensi ibadah langsung kepada Allah SWT.
Hari Pahlawan identik dengan sebuah peringatan peristiwa sejarah Indonesia tentang sikap patriotisme dan aksi heroik Bung Tomo dengan Arek-arek Suroboyo dalam memperta¬hankan kesucian dan integritas NKRI dari upaya para imperialis Barat (Belanda dan Sekutu) untuk menjajah kembali negara Kita. Peristiwa yang terjadi pada 10 Nopember 1945 tersebut adalah mengandung sebuah komitmen bangsa Indonesia untuk selalu merdeka, merdeka mewajibkan pengorbanan jiwa dan raga , darah dan air mata, berani dan pantang mundur mela¬wan kedigdayaan penjajah, keikhlasan menang¬gung penderitaan lahir batin dalam mengarungi samudera perjuangan, tanpa pamrih dan ingin balas jasa dari mana dan siapapun. Semangat kepahlawanan harus berkobar dalam jiwa dan terpatri dalam sanubari generasi bangsa dulu, kini dan esok sebagai landasan spiritual dan psikologis dalam membangun dan memberi sumbangsih yang riil kepada agama, umat, dan bangsa. Kedua momentum ini memiliki makna yang monumental bagi bangsa Indonesia, karena memiliki satu simpul dan keterkaitan makna dan tujuan bahwa nilai pengorbanan dalam tradisi Idul kurban dan nilai rela berkorban dan patriotisme yang dimiliki sang pahlawan yang diwariskan kepada generasinya adalah nilai universal yang perlu dihidupkan dan dilestarikan oleh kita. Nilai-nilai tersebut merupakan conditio sine qua non bagi eksitensi dan integritas sebuah bangsa yang sedang membangun, dalam realitas keseharian kita nilai itu sudah mulai pudar dan menjadi langka dan tidak menjadi spirit perjuangan bagi kita dalam merancang bangun kehidupan social, ekonomi dan politik di Nusantara yang tercinta ini.
Nabi Ibrahim alaihissalam (as) adalah peletak dasar pertama tentang kurban dan secara historis awal mula cerita kurban berasal darinya, selanjutnya setelah baginda nabi Muhammad SAW diutus kepada bangsa arab dan dunia umumnya beliaulah yang mempopu¬lerkan kurban menjadi sebuah rutinitas setiap tahunnya yang diintegrasikan dengan pelaksa¬naan sholat Idul Adha. Pada waktu bersamaan di Padang Arafah sebagian muslim tengah menunaikan ibadah haji yang ditandai dengan pelaksanaan rukun haji yaitu “wukuf” di Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah. Istilah kurban atau Hari kurban adalah sebutan lain dari hari raya “idul Adha”. Dalam terminology bahasa Arab menurut Badawi al-Khalafi (2001 : 673) kata “Adh-ha” berasal dari kata “al-Udh-hiyyah” berarti hewan kurban yang disembelih pada hari an-nahr (idul Adhha) untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Nabi Ibrahim khalilullah adalah sang pekurban sejati, dengan landasan keimanan yang tangguh dan ketaqwaan yang tinggi rela mengorbankan buah hatinya yang tersayang Ismail untuk dipersembahkan demi untuk keta¬atan terhadap perintah dan titah sang Khalik. Berawal dari sebuah mimpi yang benar (ru’yah shodiqah) bahwa Allah SWT mewahyu¬kan kepadanya untuk menyembelih anak semata wayangnya Ismail, maka dengan segera dan tanpa reserve beliau mengorbankan sesuatu yang dicintainya dengan menyembelih putranya itu. Sang Khalikpun mengetahui keseriusan dan kepatuhan Ibrahim terhadap perintahNya, Allah menunjukkan kebesaran dan kekuasaanNya dari kurban yang semula berupa nyawa manu¬sia disulap dan diganti dengan nyawa hewan kurban. Kisah itu secara gamblang diilustrasikan oleh Allah Azza wajalla dalam al-Qur’an :
Artinya : “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, Ibrahim berkata : Wahai anakku ! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu ?” Dia (Ismail) menjawab : Wahai ayahku ! lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar “. …… “Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (Q.S : Ash-shafat (37) : 102 dan 107).
Keteguhan dan kekokohan pendirian Nabi Ibrahim imamul muwahhidin (pencetus dan peletak dasar ajaran Tauhid) dalam melaksana¬kan perintah Tuhannya sangatlah luar biasa walaupun sangat berat dan terasa imposible menurut logika manusia, tetapi bagi dia logika keimanan, ketakwaan dan keikhlasan harus dimunculkan untuk merespon perintah dan titahNya dengan sebuah prinsip bahwa perintah Ilahi tidak mungkin memudaratkan dirinya, sebaliknya sangat bermanfaat baginya dalam mencapai maqam-maqam yang tertinggi dan termulia di hadapanNya. Pengorbanan Ibrahim dengan menyembelih putranya itu adalah adalah lambang kepasrahannya terhadap Kebesaran dan keagungan Allah, semua karunia Allah berupa harta dll adalah dianggap sesuatu yang tidak berarti karena hanya merupakan titipan sementara dari Allah SWT dan harus dikorbankan sesuai dengan kehendakNya demi untuk mencari keridaanNya dan mendapat predikat Takwa dariNya.
Begitupun kita sebagai muslim harus mampu memaknai spirit pengorbanan pernah digagas oleh pioneer tradisi kurban (Ibrahim As) melalui momentum Idul Kurban (Idul Adha) ini dengan berkurban melalui penyembelihan hewan kurban. Kurban menurut mayoritas ulama hukumnya sunnah yang sangat dianjurkan kepada keluarga muslim sesuai kemampuannya demikian menurut Abubakar Jabir Al-jazairi dalam Minhajul Muslimin ( 2006 : 420), sesuai perintah Allah dalam firmannya : Artinya : “Maka dirikanlah sholat kerena Tuhanmu dan berkurbanlah”. (Al-Kautsar (108) : 1)
Dalam berbagai sumber seperti yang ditulis oleh Abubakar Jabir al-Jazairi bahwa sebuah ibadah kurban harus memenuhi ketentuan-ketentuan syar’i diantaranya : hewan kurban harus berupa domba/kambing/biri-biri yang berumur satu tahun atau lebih untuk satu orang atau atas nama satu keluarga, unta atau sapi yang berumur tidak kurang dari dua tahun dan boleh bergabung antara tujuh orang untuk satu ekornya. Hewan kurban harus bebas dari cacat fisik . Yang afdhal domba yang bertanduk, jantan, putih bercampur hitam di sekitar mata dan kakinya, disembelih di pagi hari setelah sholat Ied, kurban dibagi 1/3 untuk keluarga 1/3 untuk disedekahkan dan 1/3 lagi dihadiahkan untuk rekan-rekan. (2006 : 421- 423)
Kesempurnaan dan keutamaan ibadah Kurban kita akan terwujud tidak hanya dengan pemenuhan segala ketentuan dan kriteria syariah saja secara formal dan materil saja, tetapi yang lebih utama dan merupakan unsur yang substansial bahwa ibadah kurban harus dilandasi dengan nilai Takwa yang paripurna dan ikhlas yang tinggi ingin membantu sesama, berbagi rasa dan sayang terhadap saudara tanpa tendensi dan ambisi keduniaan seperti politik pencitraan dan popularitas semu. Takwa dan Ikhlas di atas menjadi entry point dari kurban untuk menggapai hikmah yang besar dalam mencari solusi bagi problem bangsa yang multi dimensi. Allah azza wajalla mensinyalir dalam firmaNya dalam Al-Qur’an:
Artinya : “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepadaNya adalah ketakwaan kamu.” (Q.S. Al-hajj (22) : 37)
Makna dan hikmah ibadah kurban seperti yang diuraikan di atas harus dijadikan culture bangsa yang ditumbuhkembangkan secara dinamis dan harmonis dalam berbagai aspek kehidupan nasional. Salah satu makna dan hikmah yang dimaksud dan merupakan intisari mendasar dari ibadah kurban adalah spirit dan perilaku rela berkorban, rela mendedikasikan dan memberi kontribusi/ sumbangsih bagi kepentingan yang komunal. Di samping itu rela berkorban menjadi spirit dan perilaku sosok yang memiliki spirit “kepahlawanan” seperti tampak yang dipraktekkan Ibrahim sang pekur¬ban sejati, dan juga sebagai sang pahlawan sejati, begitupun yang pernah diteladankan oleh para pahlawan nasional kita dalam memper¬juang¬kan nasib bangsa agar merdeka dari belenggu imperialisme dan kolonialisme.
Pendek kata, Idul kurban bukan hanya sekedar rutinitas ceremonial belaka tetapi harus menjadi ikon bagi umat Islam untuk merevita¬lisasi nilai universal yaitu rela berkorban dalam upaya menghidupkan kembali dan membu¬mikan “spirit kepahlawanan” yang dipandang sudah mulai luntur, agar menjadi dinamisator dan mobilisator pembangunan bangsa.
Bangsa Indonesia sangat membutuhkan insan yang kuat dalam aspek jasmani dan rohani, aspek rohani dalam arti memiliki karakter dan spirit kepahlawanan yang mengedepankan perilaku rela berkorban dalam mengaktualisa¬sikan kegiatan pembangunan.
Semua elemen bangsa harus menjadi abdi agama, abdi negara dan abdi masyarakat yang bukan hanya pandai berharap dan meminta kepada agama, Negara dan rakyatnya, tetapi juga harus komit dan consent dalam memberi, menyumbang, berkorban sesuatu yang berharga bagi agama, negara dan rakyatnya. Wallahu a’lamu Bishawab

Penulis adalah Guru MAN 2 Kota Bima dan Anggota PD.Muhammadiyah Kab. Bima
×
Berita Terbaru Update