-->

Notification

×

Iklan

Menyoal Kekerasan Di Dunia Pendidikan

Monday, October 10, 2011 | Monday, October 10, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-10-10T01:06:46Z
Oleh: IMAM AHMAD, SH
Fenomena kekerasan yang dipertonton­kan guru terhadap murid, orang tua murid dan murid itu sendiri terhadap guru yang memu­kuli siswa (Meski murid yang melakukan pemukulan guru itu berada dibawah peneka­nan orang tuanya, red.) dalam ruang lingkup madrasah tsanawiyah (sekolah setingkat SMP) hingga sekarang menjadi bahan perbincangan hangat di semua kalangan. Bahkan menjadi perhatian utama sebuah komunitas besar ‘guru’ yang berempati terhadap terjadinya tindak kekerasan orang tua murid dan murid itu sendiri terhadap guru yang notabene adalah orang yang mengajarinya akan nilai-nilai moral dan intelektual sebagai bekal baginya untuk menatap masa depan di masa-masa yang akan datang. Berbagai cercaan, makian,
dan kata-kata keras penuh hujatan di berbagai forum dan kesempatan dihujamkan oleh berbagai kalangan, terutama para guru, dalam menyikapi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua dan murid terhadap guru madrasah tersebut.
Tidak ada sekat-sekat moral yang membatasi menyangkut etis dan tidak etisnya cercaan, makian, dan kata-kata keras yang menghujat tersebut. Seolah-olah dengan kejadian itu ‘dunia pendidikan’ di Negeri ini sudah runtuh atau kiamat. Sebuah kejadian yang sesungguhnya memperlihatkan sebuah fakta bahwa seperti inilah wajah dunia pendidikan dan wajah masyarakat kita. ‘Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari’, sebuah pameo yang sesungguhnya merefleksikkan bahwa jika proses mendidik itu dilakukan secara baik, maka hasilnya tentu akan melahirkan sebuah output yang baik bagi keberadaan tatanan kehidupan masyarakat. Jika kekerasan menjadi sebuah medium untuk melakukan sebuah proses penyadaran , maka secara logika, akan ada berapa banyak lagi tindak kekerasan yang akan lahir dari proses itu. Budaya kekerasan pun kemudian terbentuk dan akan menjadi mainstream utama dalam proses penyadaran.
Lalu adakah model pendidikan yang dibangun tanpa adanya campur tangan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal?. Dalam perspektif filosofis, akar kekerasan muncul dalam fenomena identifikasi diri manusia kedalam ‘Aku dan Kamu’, dan lebih jauh lagi kedalam ‘Kita dan Mereka’. Identifikasi inilah yang selanjutnya menjadi akar lahirnya permusuhan yang berujung kekerasan. Pela­ku kekerasan biasanya melakukan tindak kekerasan terhadap korbannya karena sebagai ‘sesama’ manusia mereka lebih menonjolkan ‘Keakuannya dan Kekitaannya’. Hal ini dimungkinkan terjadi karena menurut Simmel (1995), manusia secara tak terhindarkan akan berhadapan dengan kondisi-kondisi epistemologis yakni proses pengenalan manusia. Proses me-Kamu-kan dan me-mereka-kan ada­lah proses pengasingan dalam pengenalan manusia sebagai sesama.
Kamu dan Mereka dianggap asing, bukan hanya sekedar sebagai sebagai sesama. Kamu dan Mereka dianggap asing, bukan hanya sekedar sebagai penduduk, warga Negara atau pengikut sebuah kelompok, melainkan lebih dari itu asing sebagai manusia. Dengan kata lain, korban kekerasan didehumanisasi dan diperso­nalisasikan. Mencari format atau model pendidikan yang jauh dari campur tangan kekerasan, baik secara fisik dan verbal, semestinya menjadi sebuah harga mati yang tidak perlu lagi ditawar-tawar pada saat sekarang ini. Sebab, fenomena seperti ini tidak hanya terjadi pada kasus ini saja. Ada beberapa peristiwa yang sama yang juga sempat melanda dunia pendidikan kita yang harus menjadi refleksi terhadap upaya pencarian format atau model pendidikan yang lebih humanis dan anti kekerasan. Guru harus memandang murid atau siswa bukan sebagai orang asing yang bisa diperlakukan dengan semaunya guru itu sendiri. Begitu pun sebaliknya, siswa harus memandang bahwa seorang guru adalah bagian vital yang ada didalam dirinya yang harus dihormati, dihargai dan diteladani.
Antara guru dan orang tua murid pun harus dibangun suatu proses internalisasi hubungan yang baik guna menghindari kesan buruk sebagaimana yang terjadi pada saat sekarang ini. Sehingga dalam kita menyikapi persoalan yang muncul seperti ini, tidak lagi terkesan bahwa yang muncul itu adalah sesuatu yang bersifat emosionil dan menunjukkan akan sebagaimana besarnya power yang ada didalam diri suatu komunitas. Akan tetapi harus menunjukkan sebuah kematangan akan seberapa besarnya kualitas diri dan komunitas kita dalam menyelesaikan persoalan yang muncul tersebut. Sehingga kasus-kasus yang mencierai dan mencoreng moreng muka dunia pendidikan, tidak akan terjadi lagi kedepannya. Wassalam, Wallahu’alam Bissawab.*)
×
Berita Terbaru Update