Mataram, Garda Asakota.-
Setelah
pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB mendalami dan menganalisis berkas acara
pemeriksaan tujuh (7) tersangka terorisme yang berasal dari Pondok Pesantren
(Ponpes) Umar Bin Khattab (UBK) Desa Sanolo Kecamatan Bolo Kabupaten Bima.
Pihak Kejati NTB bakal mem-P19 tujuh (7) berkas tersebut untuk dilengkapi
kembali syarat formil dan materilnya ke pihak penyidik Polda NTB. “Termasuk
kelengkapan formil yang harus dilengkapi itu adalah menyangkut barang bukti.
Dalam surat perintah itu ada 33 alat bukti sementara dalam berita acara hanya
23 alat bukti. Lalu yang 10 kemana?,” ujar Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB,
Sugiyanta SH., kepada sejumlah wartawan pada Kamis lalu di ruang kerjanya Humas
Kejati NTB. Menurut
pria yang dikenal ramah ini, pihak Kejati telah melakukan
penelitian terhadap tujuh (7) berkas tersangka teroris itu yakni berkasnya
Abrori, Sya’ban, Rahmat Hidayat, Mustakim, Asraf, Furqan dan Ibnu Umar. Dan
berdasarkan penelitiannya, dari sejumlah rangkaian peristiwa yang terjadi baik
berdasarkan pengakuan Abrori dan enam (6) tersangka lainnya, khususnya yang
mengarah pada adanya tindakan terorisme, meski ada yang mengarah kepada
aspek-aspek terorisme.
Namun,
belum didukung oleh sejumlah bukti yang kuat. “Sehingga kita perlu bukti yang
kuat, agar dakwaan kita tidak gagal nantinya. Jangan hanya asumsi doang, tapi
alat buktinya harus kuat. Yang masih diperkuat itu terutama ajaran-ajaran
menyangkut tausyiah tentang jihad itu, kalau dimungkinkan pihak-pihak dari
masyarakat yang pernah mengetahui disana membenarkan itu. Sementara ini kan
saksi-saksi yang ada mayoritas berasal dari Ponpes UBK itu sendiri. Dan mereka
itu juga menjadi tersangka disitu. Namanya tersangka itu, tidak ada kewajiban
sumpah, bahkan diminta sumpah pun tidak boleh. Sedangkan kekuatan kesaksian
itu ada pada sumpah,” terangnya. Petunjuk-petunjuk yang masih harus diperkuat
dengan kekuatan bukti, meski itu adalah pengakuan langsung dari tersangka
Abrori dan tersangka lainnya yang berasal dari Ponpes UBK.
Menurut
Sugiyanta, adalah yang berkaitan dengan pengakuan Abrori yang mengaku pernah
belajar merakit bom di Poso dan mondok di Ponpes Jepara yang ada kaitannya
dengan Abubakar Ba’asyir atau JAT di Solo. Selain itu, Abrori juga mengaku
pernah terlibat dalam konflik Ambon dan masuk menjadi anggota JAT dan kemudian
diba’iat, serta Abubakar Ba’asyir yang diakui pernah menengok ke Ponpes UBK dan
sempat memberikan tausyiah, menurutnya masih berdiri sebagai petunjuk yang
masih harus dikuatkan lagi dengan bukti-bukti lain. “Karena itu masih sepihak,
dan kami minta untuk didukung oleh saksi-saksi yang lain untuk bisa lebih
meyakinkan lagi,” cetusnya. Dalam berkas yang diajukan penyidik, menurutnya,
masih bersifat gambaran secara umum atau asumsi seperti Ponpes UBK berdiri
sejak tahun 2003-2004 dan tahun 2005 menerima santri.
Kemudian
ajarannya itu mengarah kepada jihad melawan orang kafir, orang dzhalim. Nah,
siapa orang kafir dan orang dzhalim itu adalah orang Islam yang tidak
melaksanakan syari’at Islam. Orang-orang yang tidak melaksanakan syari’at Islam
adalah orang-orang yang melaksanakan UU buatan manusia yaitu DPR, Presiden,
aparat penegak hukum. Kemudian dari aspek ajarannya, para santri itu dihalalkan
untuk membunuh orang-orang kafir, orang-orang kafir itu sebagaimana yang saya
sampaikan diatas. Itu semua adalah pengakuan Abrori dan dikuatkan oleh
kesaksian Mustakim, dan para santri lainnya yang sudah keluar dari UBK seperti
Rahmat Hidayat.
“Sehingga
ini dinilai masih keterangan sepihak yang masih belum bisa dipertanggungjawabkan
secara hukum. Sementara saksi-saksi yang lain itu masih berupa keterangan
sepihak, meski memang sudah ada keterangan minimal dua (2) orang saksi. Tapi
saksi-saksi itu masih berasal dari Ponpes UBK,” papar Sugiyanta.
Hal
lain yang diakui oleh Abrori, sambungnya, adalah pada saat Abrori ditanyakan
apakah Sya’ban membunuh itu atas izin saudara, Abrori mengatakan tidak karena
memang Sya’ban itu statusnya sudah lulus dari Ponpes UBK akan tetapi belum
diberikan ijazah karena syaratnya untuk mendapatkan ijazah itu harus melewati
beberapa syarat seperti aktif dalam berdakwah dan melaksanakan ajaran
sebagaimana yang diajarkan di Ponpes termasuk untuk melakukan jihad melawan
thogut.
Selain
itu, Abrori juga mengaku bahwa di Ponpes diajarkan ilmu bela diri dan kegiatan
lain seperti memanah, menggunakan pedang, menggunakan senjata api. Dia juga
pernah dikenalkan oleh Abubakar Ba’asyir dengan Heru Kuncoro (tersangka teroris
yang juga ditangkap Densus 88 di Jakarta), dia juga ditawari oleh Heru Kuncoro
bahwa untuk melakukan jihad Abrori harus memiliki senjata.
Akhirnya
saat itu, Abrori memesan senjata api laras panjang dan senpi laras pendek ke
Heru Kuncoro dan membayarnya secara angsuran sebesar Rp25 juta. Tapi sebelum
senjata itu diberikan, Heru Kuncoro keburu ditangkap oleh Densus 88.
Kemudian
menyangkut, Abrori pernah membantu uang sebesar Rp29 juta kepada Uba’it (salah
satu pemilik pondok pesantren di Solo) yang katanya untuk membantu membesarkan
ponpesnya, ternyata uang itu dipergunakan untuk pelatihan militer di Aceh.
“Itu juga diakui oleh Abrori,” ujarnya. Abrori juga mengaku bahwa pada tahun
2004 pernah melakukan survey di Senggigi, setelah pernah ke Poso dan Ambon,
mendengar bahwa di Senggigi itu penuh dengan thogut-thogut semua.
Namun
setelah dia melihat sendiri ternyata masih ada masjid dan masih ada orang yang
shalat. Sehingga rencana untuk mengebom senggigi di batalkan. Akhirnya
alat-alat yang disimpannya itu, baru dirakit pada saat ada kejadian di Polsek
Bolo, saat dimana Sya’ban membunuh polisi. Nah ada isulah bahwa keluarga korban
akan masuk ke Ponpes. Bahan-bahan yang sudah ada itu kemudian dirakit, tinggal
membeli bahan tambahan yaitu korek api.
Kemudian
yang disuruh membeli korek api adalah Mustakim. Untuk deliknya, pihaknya akan
menerapkan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Terorisme. Dalam UU ini ada yang
mengatur tentang pelaku terorisme itu sendiri yakni pasal 6 dan pasal 7. Ada
juga Pasal 15 yang berkaitan dengan membantu atau bersepakat atau menyembunyikan
tindakan-tindakan yang mengarah kepada terjadinya tindak terorisme..
“Dilihat
dari ajaran-ajarannya itu mengarah kepada terorisme, kemudian dipersenjatai,
dan adanya kegiatan latihan-latihan militer baik dengan bela diri dan menggunakan
senjata api,” tandasnya. Menurut rencana berdasarkan penetapan Mahkamah Agung,
ketujuh tersangka teroris ini akan disidangkan di PN Tangerang karena didasari
alasan di NTB belum ada hakim yang berkemampuan khusus untuk menyidangkan
perkara terorisme. (GA. 211*)