-->

Notification

×

Iklan

Kejati NTB Bakal P-19 Berkas Perkara Terorisme

Monday, October 10, 2011 | Monday, October 10, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-10-10T00:33:08Z

Mataram, Garda Asakota.-
Setelah pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB men­dalami dan meng­ana­lisis berkas acara pemeriksaan tujuh (7) tersangka terorisme yang ber­asal dari Pon­dok Pesantren (Ponpes) Umar Bin Khattab (UBK) Desa Sanolo Kecamatan Bolo Kabupaten Bima. Pihak Kejati NTB bakal mem-P19 tujuh (7) berkas tersebut untuk dilengkapi kembali syarat formil dan materilnya ke pihak penyidik Polda NTB. “Termasuk kelengka­pan formil yang harus dilengkapi itu adalah menyangkut barang bukti. Dalam surat perintah itu ada 33 alat bukti sementara dalam berita acara hanya 23 alat bukti. Lalu yang 10 kemana?,” ujar Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB, Sugiyanta SH., kepada sejumlah wartawan pada Kamis lalu di ruang kerjanya Humas Kejati NTB. Menurut pria yang dikenal ramah ini, pihak Kejati telah melakukan penelitian terhadap tujuh (7) berkas tersangka teroris itu yakni berkasnya Abrori, Sya’ban, Rahmat Hidayat, Mustakim, Asraf, Furqan dan Ibnu Umar. Dan berdasarkan penelitian­nya, dari sejumlah rangkaian peristiwa yang terjadi baik
berdasarkan pengakuan Abrori dan enam (6) tersangka lainnya, khususnya yang mengarah pada adanya tindakan terorisme, meski ada yang mengarah kepada aspek-aspek terorisme.
Namun, belum didukung oleh sejumlah bukti yang kuat. “Sehingga kita perlu bukti yang kuat, agar dakwaan kita tidak gagal nantinya. Jangan hanya asumsi doang, tapi alat buktinya harus kuat. Yang masih diper­kuat itu terutama ajaran-ajaran menyangkut tausyiah tentang jihad itu, kalau dimungkin­kan pihak-pihak dari masyarakat yang pernah mengetahui disana membenarkan itu. Sementara ini kan saksi-saksi yang ada mayoritas berasal dari Ponpes UBK itu sendiri. Dan mereka itu juga menjadi ter­sangka disitu. Namanya tersangka itu, tidak ada kewajiban sumpah, bahkan diminta sumpah pun tidak boleh. Sedangkan kekua­tan kesaksian itu ada pada sumpah,” terangnya. Petunjuk-petunjuk yang masih harus diperkuat dengan kekuatan bukti, meski itu adalah pengakuan langsung dari tersangka Abrori dan tersangka lainnya yang berasal dari Ponpes UBK.
Menurut Sugiyanta, adalah yang berkaitan dengan pengakuan Abrori yang mengaku pernah belajar merakit bom di Poso dan mondok di Ponpes Jepara yang ada kaitannya dengan Abubakar Ba’asyir atau JAT di Solo. Selain itu, Abrori juga mengaku pernah terlibat dalam konflik Ambon dan masuk menjadi anggota JAT dan kemudian diba’iat, serta Abubakar Ba’asyir yang diakui pernah menengok ke Ponpes UBK dan sempat memberikan tausyiah, menurutnya masih berdiri sebagai petunjuk yang masih harus dikuatkan lagi dengan bukti-bukti lain. “Karena itu masih sepihak, dan kami minta untuk didukung oleh saksi-saksi yang lain untuk bisa lebih meyakinkan lagi,” cetusnya. Dalam berkas yang diajukan penyidik, menurutnya, masih bersifat gambaran secara umum atau asumsi seperti Ponpes UBK berdiri sejak tahun 2003-2004 dan tahun 2005 menerima santri.
Kemudian ajarannya itu mengarah kepada jihad melawan orang kafir, orang dzhalim. Nah, siapa orang kafir dan orang dzhalim itu adalah orang Islam yang tidak melaksanakan syari’at Islam. Orang-orang yang tidak melaksanakan syari’at Islam adalah orang-orang yang melaksanakan UU buatan manusia yaitu DPR, Presiden, aparat penegak hukum. Kemudian dari aspek ajarannya, para santri itu dihalalkan untuk membunuh orang-orang kafir, orang-orang kafir itu sebagaimana yang saya sampaikan diatas. Itu semua adalah pengakuan Abrori dan dikuatkan oleh kesaksian Mustakim, dan para santri lainnya yang sudah keluar dari UBK seperti Rahmat Hidayat.
“Sehingga ini dinilai masih keterangan sepihak yang masih belum bisa dipertang­gung­jawabkan secara hukum. Sementara saksi-saksi yang lain itu masih berupa keterangan sepihak, meski memang sudah ada keterangan minimal dua (2) orang saksi. Tapi saksi-saksi itu masih berasal dari Ponpes UBK,” papar Sugiyanta.
Hal lain yang diakui oleh Abrori, sam­bungnya, adalah pada saat Abrori ditanya­kan apakah Sya’ban membunuh itu atas izin saudara, Abrori mengatakan tidak karena memang Sya’ban itu statusnya sudah lulus dari Ponpes UBK akan tetapi belum diberi­kan ijazah karena syaratnya untuk menda­patkan ijazah itu harus melewati beberapa syarat seperti aktif dalam berdakwah dan melaksanakan ajaran sebagaimana yang diajarkan di Ponpes termasuk untuk melakukan jihad melawan thogut.
Selain itu, Abrori juga mengaku bahwa di Ponpes diajarkan ilmu bela diri dan kegiatan lain seperti memanah, mengguna­kan pedang, menggunakan senjata api. Dia juga pernah dikenalkan oleh Abubakar Ba’asyir dengan Heru Kuncoro (tersangka teroris yang juga ditangkap Densus 88 di Jakarta), dia juga ditawari oleh Heru Kun­coro bahwa untuk melakukan jihad Abrori harus memiliki senjata.
Akhirnya saat itu, Abrori memesan senjata api laras panjang dan senpi laras pendek ke Heru Kuncoro dan membayarnya secara angsuran sebesar Rp25 juta. Tapi sebelum senjata itu diberi­kan, Heru Kuncoro keburu ditangkap oleh Densus 88.
Kemudian menyangkut, Abrori pernah membantu uang sebesar Rp29 juta kepada Uba’it (salah satu pemilik pondok pesantren di Solo) yang katanya untuk membantu membesarkan ponpesnya, ter­nyata uang itu dipergunakan untuk pelatihan militer di Aceh. “Itu juga diakui oleh Abrori,” ujarnya. Abrori juga mengaku bahwa pada tahun 2004 pernah melakukan survey di Senggigi, setelah pernah ke Poso dan Ambon, mendengar bahwa di Senggigi itu penuh dengan thogut-thogut semua.
Namun setelah dia melihat sendiri ternyata masih ada masjid dan masih ada orang yang shalat. Sehingga rencana untuk mengebom senggigi di batalkan. Akhirnya alat-alat yang disimpannya itu, baru dirakit pada saat ada kejadian di Polsek Bolo, saat dimana Sya’ban membunuh polisi. Nah ada isulah bahwa keluarga korban akan masuk ke Ponpes. Bahan-bahan yang sudah ada itu kemudian dirakit, tinggal membeli bahan tambahan yaitu korek api.
Kemudian yang disuruh membeli korek api adalah Mustakim. Untuk deliknya, pihaknya akan menerapkan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Terorisme. Dalam UU ini ada yang mengatur tentang pelaku terorisme itu sendiri yakni pasal 6 dan pasal 7. Ada juga Pasal 15 yang berkaitan dengan membantu atau bersepakat atau menyem­bunyikan tindakan-tindakan yang mengarah kepada terjadinya tindak terorisme..
“Dilihat dari ajaran-ajarannya itu meng­arah kepada terorisme, kemudian diper­senjatai, dan adanya kegiatan latihan-latihan militer baik dengan bela diri dan menggu­nakan senjata api,” tandasnya. Menurut rencana berdasarkan penetapan Mahkamah Agung, ketujuh tersangka teroris ini akan disidangkan di PN Tangerang karena didasari alasan di NTB belum ada hakim yang berkemampuan khusus untuk menyi­dangkan perkara terorisme. (GA. 211*)
×
Berita Terbaru Update