Cermin Kegagalan Program Reboisasi…?
Kota Bima, Garda Asakota.-
Program
Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang digagas oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bima
tahun 2011 melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) kembali menuai
sorotan dari sejumlah kalangan. Setelah sebelumnya anggota DPRD Kota Bima, A.
Latif HM. Sidik, SH, angkat bicara. Kini giliran kalangan akademisi yang
mengkritisi kebijakan Pemkot Bima yang akan membuka kembali kawasan hutan
seluas 700 Ha di So Ncai Kapenta Kelurahan Jatibaru Kecamatan Asakota dan 300
Ha di Kelurahan Kolo Kecamatan Asakota dengan kedok HKM.
Ketua
STISIP Bima, Dra. Hj.Nurmi, M. Si, menilai program HKM yang digagas Pemkot Bima
memperjelas ketidak-berhasilan Pemerintah dalam program reboisasi kembali
hutan yang rusak, padahal sudah milyaran rupiah uang rakyat dikucurkan.
Menurutnya,
jika saja program reboisasi yang digagas pemerintah sebelumnya berhasil
pastinya tidak muncul program pelestarian hutan berkedok HKM yang malah akan
merusak hutan. “Jika terjadi banjir akibat kerusakan hutan melalui program HKM
ini maka masyarakat bisa meminta pertanggung-jawaban Walikota Bima secara
langsung. Karena hutan So Ncai Kapenta
berstatus hutan tutupan Negara yang dialih fungsikan, dan sangat jelas fungsi
hutan Ncai Kapenta sebagai daerah hutan penyangga Kota Bima dari bencana bajir,
erosi dan daerah resapan air bagi pemukiman,” ujarnya.
Tentu
saja, akademisi yang kerap mengkritisi kebijakan Pemkot Bima sangat
menyesalkannya, karena kebijakan pembukaan kembali kawasan Hutan Ncai Kapenta
yang sebenarnya sudah dikosongkan selama dua tahun terakhir hanya karena
berdasarkan aspirasi warga sekitar. Padahal Ncai Kapenta hakikatnya bukan milik
kelompok tertentu, melainkan milik Negara yang harus mendapat pengawasan dari
semua pihak. “Termasuk Dewan, ini harus menjadi atensi khusus. Jangan sampai
kebijakan ini sifatnya politis, hingga mengabaikan aspek dampak lingkungan
yang akan ditimbulkan kedepannya,” katanya.
Akademisi
lainya, Drs. Mukhlis Ishaka, juga menilai program HKM yang digagas Pemerintah
Kota melalui Dishutbun sebaiknya ditunda dan selanjutnya dievaluasi kembali.
Hanya saja, dia masih lebih lunak terhadap pendapatnya itu. Kalaupun Pemkot
Bima melalui Dishutbun tetap ngotot melaksanakan kebijakannya itu maka disarankannya
agar dalam pelaksanaannya ada pengawasan yang melibatan berbagai komponen,
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pencinta lingkungan maupun unsur
kemahasiswaan lainnya yang berkaitan dengan pelestarian alam. “Dengan keterlibatan
komponen-komponen lain selain warga penggarap dan pemerintah, diharapkan
dapat memaksimalkan program yang akan dilaksanakan. Dengan demikian, maka apa
yang menjadi harapan berbagai pihak akan dapat dicapai bersama. Karena sudah
jelas fungsi hutan Ncai Kapenta sebagai daerah hutan yang menjaga ketersediaan
air dan menghindari banjir,” sarannya.
Oleh
karena itu penting agar program HKM ini dipikirkan dengan bijak sebelum
dilaksanakan, apalagi menyangkut luas lahan 1000 hektar serta melibatkan 300
warga petani yang terbentuk dalam delapan kelompok, termasuk teknis pembagian
lahannya agar jangan sampai terjadi konflik berkepanjangan. “Sebab bila terjadi
kesalahan maka akan berdampak cukup parah bagi keberadaan warga Kota Bima
nantinya.
Maka
selain pengawasan, yang perlu ditingkatkan juga sebelum HKM dilaksanakan,
pemerintah dapat memberikan pelatihan kepada warga penggarap tentang
pengetahuan merawat tanaman yang akan ditanam.
Juga kaitan dengan pohon yang telah tumbuh ketika dilakukan rebosiasi
agar tidak ditebang namun melalui program tersebut petani dapat menanam pohon
pada lokasi yang tidak ada pohonnya,” saran Puket III STISIP Bima ini.
Sebelumnya
kebijakan Pemkot Bima yang akan menjadikan hutan Ncai Kapenta seluas 750 ha di
Kelurahan Jatibaru dan 300 ha kawasan hutan di Kelurahan Kolo Kecamatan
Asakota, menjadi HKM menuai sorotan anggota DPRD Kota Bima, A. Latif HM.
Siddik, SH. Menurutnya, pembukaan kembali kawasan Hutan Ncai Kapenta, sama saja
dengan membawa Kota Bima dalam kehancuran dan bencana alam tinggal menunggu
waktu saja. “Bukankah banjir bandang yang melanda Kota Bima beberapa tahun
silam akibat dari gundulnya hutan yang berada di Jatibaru (Ncai Kapenta, red),
apalagi ditambah dengan pembabatan di Kelurahan Kolo. Lalu kenapa pemerintah
menyetujui permintaan masyarakat, bukankah keputusan ini sama saja dengan
artinya “warga berharap dan meminta ijin untuk membabat hutan? dan Pemkot Bima menyetujui pembabatan hutan
tersebut?,” cetus Latif. Latif bahkan meminta agar keputusan Dishutbun Kota
Bima maupun Walikota Bima yang merekomendasikan sekaligus mengijinkan
pembabatan hutan tersebut agar dapat ditinjau kembali. “Karena yang kita tahu
sekarang saja titik mata air yang ada di Kota Bima sudah mengalami pengurangan
yang cukup signifikan. Yang lebih mengherankan lagi, Pemkot Bima melaksanakan
program penanaman seribu pohon, lalu kenapa sekarang ditebang lagi pohon yang
sudah di tanam?,” cetus duta Partai Amanat Nasional (PAN) ini. (GA. 334*)