Kejaksaan: Kalau Ada Indikasi, Akan Kami Proses
Bima, Garda Asakota.-
Institut
Transparansi Kebijakan (ITK) NTB Korda Bima menemukan adanya indikasi dugaan
korupsi pengelolaan dana Keaksaraan Fungsional (KF) di Kabupaten Bima. Indikasi
ini terkuak berdasarkan hasil evaluasi dan motitoring (Monev) yang dilakukan
oleh yang ditugaskan oleh ITK.
Di
Kabupaten Bima, terdapat kurang lebih seratus (100) PKBM dan dua (2) LSM yang
mendapatkan kucuran anggaran program KF serta terdapat 1500 kelompok belajar
dengan total anggaran Rp6,7 Milyar lebih.
Diduga dari total kucuran dana KF tersebut,
Rp1.886 Milyar lebih tidak direalisasikan sebagaimana mestinya dan ada indikasi
korupsi. “Dugaan indikasi korupsi keuangan Negara yang tidak direalisasikan
berdasarkan RAB sebesar Rp1.886.784.000.-,” ungkap Penasehat ITK NTB Korda
Bima, Al-Imran, dalam siaran persnya yang diterima Garda Asakota.
Pihaknya
menduga hampir di semua PKBM hanya menggunakan satu orang tutor, padahal dalam
RAB harusnya dua orang tutor. Bila terdapat 1. 488 kelompok belajar
se-Kabupaten Bima dikalikan Rp500 ribu, maka akan ada sekitar Rp744.000 juta
uang yang diduga tidak direalisasikan sebagaimana mestinya sesuai RAB.
Begitupun dengan tingkat kehadiran warga belajar, ITK menduga hanya rata-rata
60 persen. “Biaya transportasi warga belajar per orangan Rp3000 kali 32 hari menjadi
Rp96 ribu per orang, terus dikali 40 persen dari warga belajar. Asumsinya 8
orang setiap kelompok belajar tidak hadir terus dikali 1.488 KB, maka totalnya
Rp1,142 Milyar. Karena pembayaran transportasi hanya akan diberikan kepada
warga belajar sesuai kehadirannya ikut belajar, sehingga dugaan indikasi
korupsi keuangan Negara yang tidak direalisasikan berdasarkan RAB sebesar
Rp1.886.784.000.-,” bebernya.
Sementara
itu, Kejaksaan Negeri Raba-Bima melalui Kasi Intelijen, Edi Tanto Putra, SH,
yang dimintai tanggapanya atas temuan ITK tersebut?. Ditanya via Ponselnya,
Jumat (7/10),
pihaknya menegaskan sikap
kejaksaan yang akan mengawasi secara internal terhadap pengelolaan dana
milyaran rupiah tersebut.
Dan
bahkan, kata dia, bila dalam pengawasan internal ditemukan adanya dugaan
penyimpangan keuangan Negara, maka akan diproses. “Kejaksaan akan melakukan
pengawasan secara internal. Kalau ada indikasi akan kami proses,” tegasnya.
Disinggung
masuknya unsur Kejaksaan dalam keanggotaan Tim Monev Dana KF di Kabupaten Bima,
Edi mengakuinya. “Benar sesuai petunjuk teknis,” sahutnya singkat. Lantas
bagaimana tanggapan pihak Dikpora Kabupaten Bima atas temuan ITK?. Kadis
Dikpora melalui Kasi Pendidikan Luar Sekolah (PLS), H. Jaharuddin, yang
dimintai tanggapannya terkait dengan release ITK, malah terkesan cuci
tangan atas pertanggung-jawaban pengelolaan dana tersebut. Padahal secara
teknis, dinaslah yang bertanggung-jawab karena menyangkut pengelolaan anggaran
pemerintah.
“Yang
bertanggung-jawab dari awal kegiatan itu, mulai dari proposal, kan dari desa.
Kepala desa, sehingga apa pemasalahan yang menjadi temuan ITK harus
dikonfirmasikan terlebih dahulu ke desa, UPT, kecamatan. Kalau tidak bisa
selesai, baru dialihkan ke kita, dikonfirmasi ke kita,” ujarnya di kantor
Dikpora Kabupaten Bima, Kamis (6/10).
H.
Jaharuddin terkesan menyesalkan hasil temuan ITK tersebut yang langsung
mempublikasikan ke media massa, padahal ITK termasuk dari lembaga yang ditunjuk
untuk melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi (monev). “Ini katanya sudah
naik naik ke Polda, apa segala. Sebenarnya ndak boleh. Padahal kenyataan di
lapangan juga kan belum tentu sama dengan yang disampaikan itu,” sesalnya.
Diakuinya, Tim Monev dari Dinas Dikpora sedang turun di lapangan. “Program ini
ada empat tahapan monev-nya, delapan hari pertama monev oleh tim di tingkat
desa, kemudian delapan hari oleh monev di tingkat kecamatan. Baru selanjutnya
oleh tim monev dari dinas dan Dikpora Provinsi NTB. Dan sekarang ini tahapan
ketiga yakni monev tingkat dinas yang melibatkan juga LSM, Kejaksaan,
Kepolisian, termasuk ITK,” cetusnya.
Ketika disinggung ITK sudah lebih awal merilis
hasil temuannya di lapangan?, pria berkaca-mata ini yang terlihat acuh melayani
wartawan ini, justru mengakui bahwa secara resmi ITK belum memberikan laporan
ke dinas Dikpora. “Secara tugas, belum ada laporan masuk ke kita. Kita belum
berani berikan tanggapan, karena belum ada keterangan yang jelas dari tim
pemantau,” katanya. Namun ditegaskannya bahwa, kucuran dana KF sebesar Rp7 Milyar
ke PKBM itu tidak melalui rekening dinas, melainkan langsung masuk ke rekening
masing-masing PKBM penerima bantuan.
Namun
pada kesempatan lain, sebagaimana dilansir Kabag Humaspro Pemkab Bima, Drs.
Aris Gunawan, H. Jaharuddin sekaligus penanggung jawab program KF membantah
beberapa isu mendeskreditkan terkait dengan pengawasan yang dilakukan oleh
pihak Dikpora. “Belum-belum program ini sudah disalahkan, padahal baru berjalan
beberapa minggu saja. Toh, tidak mungkin dinas Dikpora membiarkan kalau ada
penyelewengan yang dilakukan oleh PKBM. Lha, masyarakat juga boleh kok
melaporkan ke lembaga hukum, kalau memang ditemukan penyimpangan,” tepisnya di
sela kegiatan Monev 4 kelompok PKBM di Desa Baralau Kecamatan Monta, seperti
dirilis Humas Pemkab Bima. Pihaknya membatah isu tentang pemotongan dana KF,
karena semua dana bantuan langsung diserahkan ke rekening PKBM yang ada. “Jadi,
tidak mungkin ada pemotongan oleh pihak Dikpora. Masalah PKBM itu mau
diapakan dananya, semua mengacu pada RAB masing-masing kelompok dan dananya
langsung ke rekening pengelola,” tegasnya.
Sebagaimana
dilansir Garda Asakota edisi sebelumnya, ITK NTB menyorot pengelolaan dana
pengentasan ‘buta aksara’ melalui program KF ini. Melalui release
persnya yang disampaikan pada wartawan media ini pada 25 September lalu,
Penasehat ITK Rayon Bima-NTB, Al-Imran, mempertanyakan adanya indikasi
buruknya pengelolaan dana KF di Kabupaten Bima ini akibat dari buruknya sistim
pengawasan yang dibangun oleh pihak Dinas Dikpora Kabupaten Bima sendiri.
“Program
Keaksaraan Fungsional (KF) yang dikelola oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) Kabupaten Bima yang dimulai tanggal 19 September 2011 sejauh ini belum
jalan semua. Hal ini terjadi akibat lemahnya pengawasan dari pihak Dikpora
Kabupaten Bima. Maka kami menilai berdasarkan hasil investigasi di lapangan,
hal ini akan banyak menimbulkan dugaan tindak pidana korupsi yang diduga
terjadi secara terstruktur dan sistimatis,” ungkapnya.
Berdasarkan
data yang diperoleh ITK sebelumnya, di Kabupaten Bima satu PKBM bisa mengelola
lima (5) sampai 30 kelompok belajar. Satu (1) kelompok belajar dianggarkan lima
Rp5 juta. Sampai saat ini, menurut ITK, disinyalir masih banyak kelompok
belajar yang belum dijalankan oleh PKBM. “Kalau memang kelompok belajar ini
tidak dijalankan, maka akan timbul dugaan tindak pidana korupsi.
Bila
hal ini terjadi, kami dari Institut Transparansi Kebijakan (ITK) Rayon Bima-NTB
akan melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib,” tegas pria yang dikenal
getol melaporkan dugaan korupsi di lembaga hukum ini.
Di
Kabupaten Bima, bebernya lagi, terdapat kurang lebih seratus (100) PKBM dan dua
(2) LSM yang diduga mendapatkan anggaran program KF serta terdapat 1500
kelompok belajar dengan total anggaran Rp6,7 Milyar lebih. Biaya pengeluaran untuk satu (1) Kelompok
PKBM, rincinya, antara lain adalah biaya ATK, biaya modul dikenakan Rp7 ribu
per orang yang diadakan oleh Forum PKBM untuk Wajib Belajar, biaya tematik
sebesar Rp10 ribu per orang diadakan melalui pihak Dinas Dikpora Kabupaten Bima
untuk Wajib Belajar, biaya sukma sebesar Rp5 ribu per orang diadakan melalui
dinas Dikpora Kabupaten Bima untuk wajib belajar, honor tutor sebesar Rp500
ribu per orang dikali dua (2) tutor per kelompok, honor tim monev dari satu (1)
kelompok yakni Monev Desa sebesar Rp40 ribu per orang, Monev Kecamatan sebesar
Rp45 ribu per orang, Monev Kabupaten sebesar Rp50 ribu per orang, dan Monev
Provinsi sebesar Rp65 ribu per orang, dan untuk wajib belajar sebesar Rp3 ribu
per orang dikali 32 hari dikali 20 orang per kelompok yakni sebesar Rp96 ribu
per orang. Setelah dihitung hanya memakan biaya Rp3,5 juta. Sehingga Ketua
Pengelola PKBM masih bisa mendapatkan keuntungan dari pengelolaan tersebut
yakni sebesar Rp1,5 juta per kelompok.
Kalau
satu (1) PKBM mengelola 10 kelompok akan bisa mendapatkan keuntungan hingga
Rp15 juta. ‘Maka ketika PKBM tidak menjalankan kelompok belajar yang mereka
dapat anggarannya sungguh terlalu serakah untuk meraup uang Negara. Ruang ini
terjadi akibat lemahnya sistem pengawasan dari pihak Dinas Dikpora Kabupaten
Bima yang punya Tupoksi terkait hal itu,” cetusnya. Apalagi disinyalirnya,
Ketua Pengelola PKBM mayoritas dikelola oleh PNS dibawah naungan Dikpora
Kabupaten Bima. “Dan hingga hari ini, tingkat kehadiran warga belajar di setiap
PKBM rata-rata hanya mencapai 50 persen sampai 60 persen dengan sendirinya dana
untuk wajib belajar per hari yakni sebesar Rp3 ribu dikali 32 hari ditengarai
tidak terealisasi semua. Dan sebagian PKBM disinyalir hanya menggunakan satu
(1) orang tutor,” bebernya.(GA. 212/211*)