-->

Notification

×

Iklan

ITK Temukan Indikasi Dugaan Korupsi Dana KF Rp1,886 Milyar

Monday, October 10, 2011 | Monday, October 10, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-10-10T00:35:07Z

Kejaksaan: Kalau Ada Indikasi, Akan Kami Proses
Bima, Garda Asakota.-
Institut Transparansi Kebijakan (ITK) NTB Korda Bima menemukan adanya indikasi dugaan korupsi pengelolaan dana Keaksaraan Fungsional (KF) di Kabupaten Bima. Indikasi ini terkuak berdasarkan hasil evaluasi dan motitoring (Monev) yang dilakukan oleh yang ditugaskan oleh ITK.
Di Kabupaten Bima, terdapat kurang lebih seratus (100) PKBM dan dua (2) LSM yang mendapatkan kucuran anggaran program KF serta terdapat 1500 kelompok belajar dengan total anggaran Rp6,7 Milyar lebih.
Diduga dari total kucuran dana KF tersebut, Rp1.886 Milyar lebih tidak direalisasikan sebagaimana mestinya dan ada indikasi korupsi. “Dugaan indikasi korupsi keuangan Negara yang tidak direalisasikan berdasarkan RAB sebesar Rp1.886.784.000.-,” ungkap Penasehat ITK NTB Korda Bima, Al-Imran, dalam siaran persnya yang diterima Garda Asakota.
Pihaknya menduga hampir di semua PKBM hanya menggu­nakan satu orang tutor, padahal dalam RAB harusnya dua orang tutor. Bila terdapat 1. 488 kelompok belajar se-Kabupaten Bima dikalikan Rp500 ribu, maka akan ada sekitar Rp744.000 juta uang yang diduga tidak direalisasikan sebagaimana mestinya sesuai RAB. Begitupun dengan tingkat kehadiran warga belajar, ITK menduga hanya rata-rata 60 persen. “Biaya transportasi warga belajar per orangan Rp3000 kali 32 hari menjadi Rp96 ribu per orang, terus dikali 40 persen dari warga belajar. Asumsinya 8 orang setiap kelompok belajar tidak hadir terus dikali 1.488 KB, maka totalnya Rp1,142 Milyar. Karena pembayaran transportasi hanya akan diberikan kepada warga belajar sesuai kehadirannya ikut belajar, sehingga dugaan indikasi korupsi keuangan Negara yang tidak direalisasikan berdasarkan RAB sebesar Rp1.886.784.000.-,” bebernya.
Sementara itu, Kejaksaan Negeri Raba-Bima melalui Kasi Intelijen, Edi Tanto Putra, SH, yang dimintai tanggapanya atas temuan ITK tersebut?. Ditanya via Ponselnya, Jumat (7/10),
pihaknya menegaskan sikap kejaksaan yang akan mengawasi secara internal terhadap pengelolaan dana milyaran rupiah tersebut.
Dan bahkan, kata dia, bila dalam penga­wasan internal ditemukan adanya dugaan penyimpangan keuangan Negara, maka akan diproses. “Kejaksaan akan melakukan pengawasan secara internal. Kalau ada indikasi akan kami proses,” tegasnya.
Disinggung masuknya unsur Kejaksaan dalam keanggotaan Tim Monev Dana KF di Kabupaten Bima, Edi mengakuinya. “Benar sesuai petunjuk teknis,” sahutnya singkat. Lantas bagaimana tanggapan pihak Dikpora Kabupaten Bima atas temuan ITK?. Kadis Dikpora melalui Kasi Pendidi­kan Luar Sekolah (PLS), H. Jaha­ruddin, yang dimintai tanggapannya terkait dengan release ITK, malah terkesan cuci tangan atas pertanggung-jawaban pengelolaan dana tersebut. Padahal secara teknis, dinaslah yang bertanggung-jawab karena menyang­kut pengelolaan anggaran pemerintah.
“Yang bertanggung-jawab dari awal kegiatan itu, mulai dari proposal, kan dari desa. Kepala desa, sehingga apa pemasa­lahan yang menjadi temuan ITK harus dikonfirmasikan terlebih dahulu ke desa, UPT, kecamatan. Kalau tidak bisa selesai, baru dialihkan ke kita, dikonfirmasi ke kita,” ujarnya di kantor Dikpora Kabupaten Bima, Kamis (6/10).
H. Jaharuddin terkesan menyesalkan hasil temuan ITK tersebut yang langsung mempublikasikan ke media massa, padahal ITK termasuk dari lembaga yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi (monev). “Ini katanya sudah naik naik ke Polda, apa segala. Sebenarnya ndak boleh. Padahal kenyataan di lapangan juga kan belum tentu sama dengan yang disampaikan itu,” sesalnya. Diakuinya, Tim Monev dari Dinas Dikpora sedang turun di lapangan. “Program ini ada empat tahapan monev-nya, delapan hari pertama monev oleh tim di tingkat desa, kemudian delapan hari oleh monev di tingkat kecamatan. Baru selanjutnya oleh tim monev dari dinas dan Dikpora Provinsi NTB. Dan sekarang ini tahapan ketiga yakni monev tingkat dinas yang melibatkan juga LSM, Kejaksaan, Kepolisian, termasuk ITK,” cetusnya.
 Ketika disinggung ITK sudah lebih awal merilis hasil temuannya di lapangan?, pria berkaca-mata ini yang terlihat acuh mela­yani wartawan ini, justru mengakui bahwa secara resmi ITK belum memberikan lapo­ran ke dinas Dikpora. “Secara tugas, belum ada laporan masuk ke kita. Kita belum berani berikan tanggapan, karena belum ada keterangan yang jelas dari tim pemantau,” katanya. Namun ditegaskannya bahwa, kucuran dana KF sebesar Rp7 Milyar ke PKBM itu tidak melalui rekening dinas, melainkan langsung masuk ke rekening masing-masing PKBM penerima bantuan.
Namun pada kesempatan lain, sebagai­mana dilansir Kabag Humaspro Pemkab Bima, Drs. Aris Gunawan, H. Jaharuddin sekaligus penanggung jawab program KF membantah beberapa isu mendeskreditkan terkait dengan pengawasan yang dilakukan oleh pihak Dikpora. “Belum-belum program ini sudah disalahkan, padahal baru berjalan beberapa minggu saja. Toh, tidak mungkin dinas Dikpora membiarkan kalau ada penyelewengan yang dilakukan oleh PKBM. Lha, masyarakat juga boleh kok melaporkan ke lembaga hukum, kalau memang ditemu­kan penyimpangan,” tepisnya di sela kegiatan Monev 4 kelompok PKBM di Desa Baralau Kecamatan Monta, seperti dirilis Humas Pemkab Bima. Pihaknya membatah isu tentang pemotongan dana KF, karena semua dana bantuan langsung diserahkan ke rekening PKBM yang ada. “Jadi, tidak mungkin ada pemotongan oleh pihak Dikpora. Masalah PKBM  itu mau diapakan dananya, semua mengacu pada RAB ma­sing-masing kelompok dan dananya langsung ke rekening pengelola,” tegasnya.
Sebagaimana dilansir Garda Asakota edisi sebelumnya, ITK NTB menyorot pengelolaan dana pengentasan ‘buta aksara’ melalui program KF ini. Melalui release persnya yang disampaikan pada wartawan media ini pada 25 September lalu, Penasehat ITK Rayon Bima-NTB, Al-Imran, mem­pertanya­kan adanya indikasi buruknya pengelolaan dana KF di Kabupaten Bima ini akibat dari buruknya sistim pengawasan yang dibangun oleh pihak Dinas Dikpora Kabupaten Bima sendiri.
“Program Keaksaraan Fungsional (KF) yang dikelola oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kabupaten Bima yang dimulai tanggal 19 September 2011 sejauh ini belum jalan semua. Hal ini terjadi akibat lemahnya pengawasan dari pihak Dikpora Kabupaten Bima. Maka kami menilai berda­sarkan hasil investigasi di lapangan, hal ini akan banyak menimbulkan dugaan tindak pidana korupsi yang diduga terjadi secara terstruktur dan sistimatis,” ungkapnya.
Berdasarkan data yang diperoleh ITK sebelumnya, di Kabupaten Bima satu PKBM bisa menge­lola lima (5) sampai 30 kelompok belajar. Satu (1) kelompok belajar dianggarkan lima Rp5 juta. Sampai saat ini, menurut ITK, disinyalir masih banyak kelompok belajar yang belum dijalankan oleh PKBM. “Kalau memang kelompok belajar ini tidak dijalankan, maka akan tim­bul dugaan tindak pidana korupsi.
Bila hal ini terjadi, kami dari Institut Transparansi Kebijakan (ITK) Rayon Bima-NTB akan melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib,” tegas pria yang dikenal getol melaporkan dugaan korupsi di lembaga hukum ini.
Di Kabupaten Bima, bebernya lagi, terdapat kurang lebih seratus (100) PKBM dan dua (2) LSM yang diduga mendapatkan anggaran program KF serta terdapat 1500 kelompok belajar dengan total anggaran Rp6,7 Milyar lebih.  Biaya pengeluaran untuk satu (1) Kelompok PKBM, rincinya, antara lain adalah biaya ATK, biaya modul dikenakan Rp7 ribu per orang yang diada­kan oleh Forum PKBM untuk Wajib Belajar, biaya tematik sebesar Rp10 ribu per orang diadakan melalui pihak Dinas Dikpora Kabupaten Bima untuk Wajib Belajar, biaya sukma sebesar Rp5 ribu per orang diadakan melalui dinas Dikpora Kabupaten Bima untuk wajib belajar, honor tutor sebesar Rp500 ribu per orang dikali dua (2) tutor per kelompok, honor tim monev dari satu (1) kelompok yakni Monev Desa sebesar Rp40 ribu per orang, Monev Kecamatan sebesar Rp45 ribu per orang, Monev Kabupaten sebesar Rp50 ribu per orang, dan Monev Provinsi sebesar Rp65 ribu per orang, dan untuk wajib belajar sebesar Rp3 ribu per orang dikali 32 hari dikali 20 orang per kelompok yakni sebesar Rp96 ribu per orang. Setelah dihitung hanya memakan biaya Rp3,5 juta. Sehingga Ketua Pengelola PKBM masih bisa mendapatkan keuntungan dari pengelolaan tersebut yakni sebesar Rp1,5 juta per kelompok.
Kalau satu (1) PKBM mengelola 10 kelompok akan bisa mendapatkan ke­un­tungan hingga Rp15 juta. ‘Maka ketika PKBM tidak menjalankan kelompok belajar yang mereka dapat anggarannya sungguh terlalu serakah untuk meraup uang Negara. Ruang ini terjadi akibat lemahnya sistem pengawasan dari pihak Dinas Dikpora Kabupaten Bima yang punya Tupoksi terkait hal itu,” cetusnya. Apalagi disinyalir­nya, Ketua Pengelola PKBM mayoritas dikelola oleh PNS diba­wah naungan Dikpora Kabupaten Bima. “Dan hingga hari ini, tingkat kehadiran warga belajar di setiap PKBM rata-rata hanya mencapai 50 persen sampai 60 persen dengan sendirinya dana untuk wajib belajar per hari yakni sebesar Rp3 ribu dikali 32 hari ditengarai tidak terealisasi semua. Dan sebagian PKBM disinyalir hanya menggu­nakan satu (1) orang tutor,” bebernya.(GA. 212/211*)
×
Berita Terbaru Update