-->

Notification

×

Iklan

Guru dan Siswa Tempo Dulu

Monday, October 24, 2011 | Monday, October 24, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-10-24T14:19:35Z

Siswa dan guru dekade 45-an berbeda dengan siswa dan guru kini. Yang berbeda bukan status siswa dan guru sebagai objek dan subjek pendidikan, tetapi keberadaannya yang kadangkala sudah termargi¬nalkan. Cobalah kita tanya kepada guru-guru pada masa pascakemerdekaan, atau kita menyimak film-film kolosal yang berlatar atau beralur guru dan siswa dan guru tempo doeleo. Mereka Siswa dan guru akan bangga mengingat atau bernostalgia ketika saat-saat berada di bangku sekolah. Sering kita simak kata-kata atau ungkapan dari siswa seperti,
“Beliau adalah guru saya ketika duduk di bangku SR (Sekolah Rakyat sekarang SD). Beliau adalah guru saya yang sangat disiplin dalam mengajar, Beliau guru yang sangat “ keras” dalam KBM. Ketika itu masih dalam “pengaruh” masa-masa “perjuangan dan Penjajahan” Dan ketika itu tidak pernah ada deadline yang mengangkat topik “kekerasan pendidikan” yang menggegerkan !!! Semuanya tetap harmonis, kondusif, dan tertib. Dan kerap para guru tempo dulu dengan bangga mengu¬mandangkan, “dia dulu adalah murid saya yang cerdas, taat, bermoral, dan tidak pernah mem¬bangkang!!! Dan kita semua pernah merasakan pendidikan “ setuhnya” tersebut.
Dulu jangankan membangkang kepada guru, kepada seluruh keluarganya pun wajib kita hormati dan patuhi perintahnya! Jadi se¬pertinya ada adagium, Guru adalah segala-gala¬nya, hingga lahirlah puisi ; moyangku ada-lah guru, nenekku guru, orang tua guru, anakku guru, cucuku guru, cicit dan buyutku guru. Me¬mang “sangat luar biasa sekali kharismatiknya sosok guru. Tidak pernah ada siswa yang “amo¬ ral” !!! Yang ada adalah siswa yang sebenar-benarnya “Siswa”. Sejarah telah mencatat semuanya. Sejarah tersebut harus menjadi pedoman kita untuk menengok masa depan. Siapa yang memetik pengalaman dari sejarah akan sigaplah seseorang dalam bertindak ke kedepannya; Anhar De Gonggong (Sejarawan Nasional). Kekeliruan dan prestasi yang ber¬lalu harus menjadi contoh dan bimbingan buat kita. Dan haruskah dibangun lembaga pendi¬dikan yang khusus menangani Pendidikan moral ? karena moral dan ilmu pengetahuan akan saling berkolerasi. Ketika moralnya memiliki nilai 10, nilai ipteknya pun tidak bergeser jauh dari nilai angka 10. Karena dalam fisik yang sehat terdapat pikiran dan moral yang jernih.
Belum ada lembaga yang khusus mencetak sarjana atau pascasarjana yang khusus menangangi atau memprogramkan jurusan Moral. Nilai moral individu sepertinya relatif karena akan dipengaruhi oleh cuaca yang sarat pancaroba. Jadi ketika personal lulusan pendidikan moral dengan predikat “cumlaude” tidak berarti moralnya sampai akhir hayat akan tetap terjaga sesuai dengan predikat yang diperoleh. Karena moral kadang mengikuti perubahan musim dan waktu.
Kalau dikalkulasikan guru kita dari kelas Nol sampai kita duduk dibangku pendidikan terakhir sangat banyak jumlahnya. Apakah kita masih mampu mengingat satu persatu nama-nama guru kita? memegang mata pelajaran apa? alamatnya? dan nilai yang kita peroleh? Sering kita temukan, ketika siswa “buta” dengan keberadaan gurunya. Nama sekalipun tidak tahu, yang diingat hanya mata pelajaran yang dipegang oleh guru tersebut. Hal ini tidak boleh dianggap sepele, tetapi merupakan masalah besar di dunia pendidikan kita saat ini. Guru adalah “Corong” bagi masyarakat terhadap perkembangan kualitas dan kuantitas pen¬didikan, dan guru harus memberikan jawaban yang pasti dan akurat kepada masyarakat terhadap prestasi pendidikan yang dicapai. Karena akan ada masanya setiap kebohongan itu akan “terpublik” . Yah, karena kita tak ubahnya seperti ekosistem dalam akuarium, semuanya bisa terbaca dan terdeteksi oleh semua pihak yang bertindak sebagai “juri” dalam kompetisi yang tidak terjadwal. Tetapi jangan sampai menjadi juri yang “ kalah saing” dari si objek penilaian. Karena “buntutnya” menjadi juri “jadi-jadian” Aneh memang, karena zaman sekarang manusianya “nyeleneh” kalau tidak ikutan nyeleneh dan edan, bakalan kagak kebagian, begitu sindirnya; Raden Ronggo Warsito. Dulu ketika pascakemerdekaan siswanya dipaksa dan dididik ala militer atau digora ( gogo rancah). Siswa diibaratkan dengan lahan yang sangat kritis sehingga perlu digogo rancah. Istilahnya kita mendidik dan mengajar siswa diibaratkan “mengukir di atas batu” karena seberat apapun lahan dan medan yang diarungi pasti pada akhirnya akan membekas dan meninggalkan tapak. Karena memang setiap aktivitas akan ber-value dan menghasilkan bila dilakukan dengan seksama dan kolaboratif, Sigmund Freud (Psikolog) Dan setiap pekerjaan yang baik dan buruk pada akhirnya kita akan memetik “kembangnya”, Willian Shakespeare (Raja Sastrawan). Lalu bagaimana dengan murid zaman sekarang? ditengah saratnya kemajuan teknologi apa “Iya”, kita masih meng-Gora siswa? Apakah siswanya masih dikatakan “lahan kritis” sehingga sangat membutuhkan “pupuk dan insektisida” ? Apakah siswa masih perlu diberi hukuman “berdiri angkat kaki sebelah” di depan kelas ? Apakah siswanya masih perlu diberi ganjaran untuk menghafal materi dua sampai tiga bab?. Apa perlu siswanya diberikan ganjaran yang mendidik ? Apakah ganjaran itu malah berubah manjadi hajaran? Semuanya menjadi dilematik. Mengapa demikian jawaban ada pada pikiran dan naluri kita sebagai siswa, guru, orangtua dan masyarakat. Harus ada sense of crisis dari semua pihak agar semuanya bisa tercapai sesuai dengan hakikat pendidikan, Umar H. M. Saleh, S.Pd (Kasek SMA Negeri I Bolo Ketika rapat dinas 16 Maret 2011)
Tetapi jangan sampai kita ketinggalan teknologi dan dikalahkan oleh siswa. Kita tidak boleh tertinggal jauh dibelakang tentang browsing internet dan sama sekali tidak bisa menjelajah dunia melalui dunia maya. Kita segala-galanya harus lebih tahu dan unggul dari siswa, Ir.Indra Djati Sidi, Ph.D (Mantan Direktur Jend Pend.Dasar & Meneg, Depdiknas). Teknik gogo rancah sepertinya tidak cocok lagi diterapkan, karena dulu tidak pernah ada barbar pada siswa, tidak ada siswa ugal, tidak ada siswa morfinis, tidak ada internetan dan tidak ada siswa-siswaan. Siswa kini lebih majemuk dan peka terhadap perkembangan dan kemajuan yang pesat.
Begitu juga dengan guru-guru, yaitu guru yang sebenar-benarnya guru. Ya… guru yang digugu plus ditiru atau istilahnya, Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Jadi siswanya tidak dan bukan mengguru dan meniru pada behavioris ala selebriti. Guru harus memiliki “sesuatu” yang bisa menghendel, harus punya “kartu”,harus memiliki “kata kunci” agar pembelajaran lebih menarik, bermakna, dan bertujuan.
Melihat dinamika yang diiringi dengan derapnya teknologi semuanya harus disesuaikan dan diseleraskan. Sedikit saja tindakan yang melenceng akan fatallah semuanya. Guru haruslah jeli melihat cela dan ruang untuk memasuki alur pikiran dan keinginan siswa. Karena siswa berada pada titik rawan yang memposisikan dirinya kepada pilihan masa depan yang pas dan tepat. Tidak perlu ada tindakan ala militer di dunia pendi¬dikan, tetapi ciptakan suasana yang nyaman, bersahabat, kreatif, loyal, kolaboratif , bertanggung jawab, dan beriman kepada siswa.
Siswa dan guru harus ada kedekatan dan hubungan yang terarah dan sistematis sehingga pendidikan kita bertujuan. Kedekatan, keakraban, silaturahim, dan aplaus dari guru dan siswa bukan berarti akan mengurangi dan menurunkan “Citra dan martabat guru” di mata siswa dan publik. Melalui kebersamaan dan kekeluargaan yang bertujuan semua cita-cita pendidikan yang ingin kita capai akan sukses dan terarah. Tidak perlu kita pasang muka angker, monster, apatis kepada siswa karena akan membuat “Batas” dan “Garis Merah” yang menghalang cita-cita pendidikan; Umar H. M. Saleh, S.Pd (Kasek SMA Negeri I Bolo ketika rapat dinas Maret 2011).
Tindakan dan sikap yang berlebihan dan “kaku” malah akan menimbulkan image yang keliru dan salah kaprah.Dan lebih sarkas lagi kita malah dicap “ bersembunyi” dibalik ke¬apatisan. Hari-hari kemarin kita disodorkan oleh “kabut dan mendung” yang menyentil pendidikan kita. Hari ini, besok, dan seterusnya kita berikan prestasi yang spektakuler kepada pendidikan kita yang meradang. Ruang belajar yang damai, demokratis, evaluative, asri, inovatif, variatif, kompetatif, adalah sisi urgensial untuk tercapainya tujuan pendidikan, Howard Gardner .Kalau siswa tidak damai dengan lingkungan belajarnya, alamat siswa akan shock learning dalam pembelajaran. Ketika anak dididik dalam lingkungan yang harmonis dan layak, mutunya bisa lebih dijamin dari pada dididik ditempat yang “kaku dan mencemaskan”. Dan ujung-ujungnya akan berpengaruh kepada
kualitas SDM kita.
Ketika pendidikan menengok terus ke belakang dan dibayang-bayang oleh roman¬tisme masa penjajahan, adalah sebuah “ mimpi” bila mengharapkan sekolah yang sejajar dengan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sekarang persaingannya nyata sekali dan sangat ketat dan tantangannya jauh lebih seru.
Jadi siapa yang tidak memperhatikan kualitas, maka dalam sekejap saja sudah ketinggalan semakin jauh dan kita akan menjadi penonton yang abadi di panggung percaturan ilmu pengetahuan dan teknologi. Atau memang kita malah senang dan bangga ketika selalu mengekor terus di belakang? Kesuksesan siswa adalah kesuksesan gurunya dan kegagalan siswa adalah kegagalan pendidikan, Ir. Indra Djati Sidi, P.hD. Dan pendi¬dikan yang “gagal”, adalah ciri “Kemunduran”. Urgensialnya mari kita bekerjalebih baik dan amanah!

*Penulis: Pengajar di SMA Negeri I Bolo.
×
Berita Terbaru Update