Mataram, Garda Asakota.-
Misi
Pemerataan dan pengembangan jaringan Pendidikan Non Formal dan Informal yang
diselenggarakan melalui BPPNFI Regional VII Mataram NTB dinilai masih belum
maksimal. Hal ini diakibatkan karena sejumlah bantuan social yang disalurkan
oleh BPPNFI disejumlah daerah di NTB untuk penyelenggaraan sejumlah program
pendidikan Non-Formal dan Informal untuk Tahun Anggaran (TA) 2011 ini,
ditengarai masih belum merata dan terkesan didominasi oleh Satuan Kelompok
Belajar (SKB) yang notabene merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Ketua
Front Rakyat (FR) NTB, Yuliadin, S. Sos., mengungkapkan beberapa program BPPNFI
Regional VII Mataram NTB, sebagai sampel seperti bantuan Program Pendidikan
Anak Usia Dini (Kelompok Bermain) sebesar masing-masing Rp29 Juta, di Kabupaten
Bima dan Kota Bima diarahkan kepada SKB yang berada di Jalan Duku Nomor I Raba
Rasanae Timur-Bima yang dikelola oleh Ahmad Yani, S. Pdi., dan SKB yang berada
di Jalan Pendidikan Sila Bima-NTB yang dikelola oleh Khairunnisa, S. Sos.,
total jumlah anggaran untuk bantuan PAUD (Kelompok Bermain) ini se-NTB dan
Bali adalah sebesar Rp406 juta.
Selain
mendapatkan bantuan PAUD (Kelompok bermain), dua SKB ini pun mendapatkan
bantuan social BPPNFI untuk program pembinaan kursus dan pelatihan (PKH-LPD)
masing-masing sebesar Rp17 juta dan ada juga yang mendapatkan kucuran bantuan
sebesar Rp25 juta. Anehnya, ada satu SKB seperti SKB Buleleng yang berada di
Jalan Singaraja-Siririt yang dikelola oleh I. Wayan Sumawijaya, SH., M. Si.,
dan SKB Lombok Tengah yang berada di Jalan Bhakti Puyung dan dikelola oleh Lalu
Awaludin, S. Sos., mendapatkan kucuran bantuan double yakni masing-masing
sebesar Rp17 juta untuk program PKH-LPD. Pada program PAUD TPA di Kabupaten
Bima, BPPNFI juga mengarahkan anggarannya untuk membantu SKB Bolo sebesar Rp31
juta.
Pada
program Pendidikan Masyarakat (Keaksaraan Usaha Mandiri), dua SKB di Kota dan
Kabupaten Bima ini pun mendapatkan kucuran bantuan dari BPPNFI yakni
masing-masing sebesar Rp115 juta dan Rp138 juta. “Distribusi anggaran yang
tidak mencerminkan aspek pemerataan dan terkesan tidak memperluas aspek
jaringan model pendidikan Non Formal dan Informal ini pun dinilai tidak akan
bisa memberikan output yang baik terhadap pengembangan pendidikan non formal
dan informal. Apalagi satu SKB tidak memiliki focus dalam pelaksanaan
program. Terkesan program ini ditengarai hanya memboroskan anggaran Negara,”
ujar pria yang akrab disapa Bucek ini kepada wartawan media ini.
Menanggapi
permasalahan ini, Kepala BPPNFI Regional VII Mataram NTB, Rony Gunarso, M.
Mpd., melalui Humasnya, Khairuddin, menjelaskan bahwa semua bentuk program
bantuan social yang ada di BPPNFI diarahkan focusnya pada kegiatan percontohan
program. “Maka, kami selektif sekali, tidak semua lembaga harus kami layani, ada
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Terkait dengan penyelenggaraan
program di lembaga-lembaga lain yang bukan percontohan dilakukan di Dinas
Dikpora Provinsi maupun di Dinas Dikpora Kabupaten,” jelas Khairuddin kepada
wartawan diruang kerjanya BPPNFI Regional VII Mataram-NTB, belum lama ini.
Menurutnya,
banyaknya bantuan social BPPNFI yang diarahkan pada SKB oleh karena didasari
SKB itu merupakan mitra BPPNFI yang secara fungsional menyelenggarakan
percontohan program. “Jadi kalau kami ini sifatnya bukan pemerataan. Jadi itu
supaya pemahamannya jelas. Jadi kalau ke SKB itu memang diarahkan ke percontohan
program. Sementara, kalau bantuan yang mengarah pada LKP, yah LKP yang sesuai
dengan percontohan program itu. Kami tidak bersifat pada perluasan akses. Untuk
perluasan akses, maka diakseslah program itu melalui Dinas Dikpora Provinsi NTB
yang secara koordinasinya berkoordinasi dengan Dinas Dikpora Kabupaten dan
Kota,” cetusnya lagi.
Percontohan
program atau pendekatan model Pendidikan Non Formal dan Informal dijelaskan
Humas BPPNFI telah berjalan selama tiga (3) tahun. “Dan fungsi BPPNFI adalah
melaksanakan pengkajian dan pengembangan, bukan untuk perluasan akses. Nah
untuk pelaksanaan pengkajian dan pengembangan model ini, maka kami bekerjasama
dengan SKB. Oleh karena itu, maka semua program bantuan social yang ada disini
itu pasti diarahkan untuk percontohan dalam rangka mengembangkan model. Itu
intinya yang dilakukan disini. Kenapa bukan seluruh, bukan ranah kami untuk
membantu seluruh. Kami juga punya mekanisme-mekanisme yang harus ditempuh.
Menyangkut perluasan akses, itu ranahnya Dinas Pendidikan,” jelasnya lagi.
SKB-SKB
tersebut, kata Khairuddin, merupakan UPTD milik pemerintah yang telah lama
eksis. Di NTB ini, katanya, hanya ada sepuluh SKB yang dibentuk di seluruh
Kabupaten dan Kota. “Untuk di Kabupaten Bima, SKB-nya hanya ada di Kecamatan
Bolo, sementara untuk Kota Bima yakni SKB yang dikelola oleh pak Ahmad Yani
itu. “Jadi itu mitra utama kami yang harus kami layani. Sehingga kami itu tidak
sepenuhnya ke PKBM, karena kami harus memilih PKBM-PKBM mana yang memenuhi
syarat sesuai dengan Juknis yang ada. Kalau anda mencari yang namanya perluasan
akses itu ada di Dinas Dikpora Provinsi.
Sudah
banyak program ini di sana, coba bedah program ini disana,” kata Khairuddin.
Tidak diarahkannya bantuan ini untuk membantu PKBM yang ada di daerah
dijelaskannya karena banyak proposal yang diajukan ke pihaknya yang tidak
memenuhi syarat-syarat teknis. “Kami inikan sudah minta untuk memasukkan proposal.
Jadi setelah dinilai, tidak ada yang memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan
social itu,” tandasnya. (GA. 211*)