-->

Notification

×

Iklan

Sikapi Persoalan Hukum, Kemenag NTB Tunggu Hasil Kerja Aparat

Tuesday, August 16, 2011 | Tuesday, August 16, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2021-04-19T14:44:42Z


Bima, Garda Asakota.-



Menyikapi beberapa masalah yang terjadi di internal Kementerian Agama (Kemenag) NTB seperti adanya oknum pegawai yang berbenturan dengan masalah hukum dan juga masalah kurangnya pengawasan terhadap lembaga pendidikan yang ada sehingga munculnya kasus seperti yang terjadi di Ponpes Umar bin Khattab (UBK), Kepala Kantor Kementerian Agama NTB, Drs. H.L Suhaemi Ismi, secara tegas mengatakan bahwa, ketika suatu permasalahan itu sudah ditangani oleh aparat yang berkompeten, maka etikanya pihak Kemenag akan menunggu kesimpulan instansi yang melakukan pemeriksaan
tersebut, sehingga tidak ada benturan antar instansi pemerintah. 


“Kalau misalnya nanti sudah ada kesimpulan dan sebagainya, maka kami pasti akan mengambil keputusan semua dengan peraturan yang berlaku. Kami yakin institusi yang menangani suatu perkara tersebut akan bekerja secara profesional, dan mereka punya caranya sendiri untuk bisa menggali dan membuktikan kasus tersebut,” katanya di sela-sela rangkaian kegiatan safari Ramadhan di Madrasah Aliyah Negeri-3 Kabupaten Bima, Rabu lalu (10/8).


Kepada wartawan pihaknya meminta kepada aparat hukum yang menangani kasus-kasus yang terjadi di lingkup Kementerian Agama untuk secepatnya dituntaskan. 


“Supaya tidak mengambang dan berlarut-larut. Kami terus menunggu apa keputusannya supaya kami bisa mengambil sikap yag tepat,” tegasnya.


Sementara itu, berkaitan dengan kasus UBK, supaya tidak berimbas pada citra pondok pesantren, pihaknya menegaskan kembali bahwa UBK itu tidak bisa diklasifikasikan sebagai pondok pesantren, karena di kementerian agama itu ada kriteria-kriteria yang harus dipenuhi baru bisa dikatakan sebagai ponpes. 


Menurut Kakanwil Kemenag NTB, minimal ada lima yang harus dipenuh, pertama harus ada kiyainya, kedua wajib dalam kompleks itu ada masjid atau santren atau mushalla yang berdiri sendiri bukan satu ruangan yang diaku-aku sebagai mushalla, karena didalam masjid/mushalla itu dihajatkan bukan saja untuk shalat tetapi di situlah dididik dan digembleng para santri itu mempelajari/memperdalam kitab-kitab khusus agama. 


“Jadi disitu dibikin halaqo, dan itu dilakukan habis maghrib menjelang isya umpamanya. Ponpes dimana-mana ada halaqonya tempatnya di situ jadi bukan dalam ruangan kelas, kalau dalam ruangan kelas namanya pendidikan formal,” jelasnya.


Kemudian ciri lainnya harus ada santri, nah UBK ini hanya sekitar 30 sd 35 saja dan yang diklaim sebagai santri juga itu sangat variatif ada anak-anak, ada remaja ada juga orang-orang dewasa. 


Ini tingkatan pondoknya apa, pondok itu ada tingkatan-tingkatan ada namanya Ulla, Usto, Ullia. Jadi kalau pondok murni tidak ada madrasah di dalamnya. Dalam rumus Kemenag namanya pondok itu ada dua, ada namanya pondok Salafi yaitu pondok pesantren yang tidak mengandung sistem klasikal jadi tidak ada namanya ibtidaiyah, tsnawiyah atau aliyah disitu, mereka hanya belajar ilmu agama, tetapi walaupun begitu tetap ada tingkatan yaitu tadi Ulla, Usto dan Ullia.


Dan jenis ponpes yang kedua disebut Khalafi yaitu ponpes yang didalamnya ada juga lembaga-lembaga pendidikan formal yang mengandung sistem klasikal seperti MI, MTs dan MA. 


 “Tapi walaupun ponpes itu Khalafi dengan sistem pendidikan klasikal atau pendidikan modern yang kita kenal dewasa ini, namun tetap dia harus ada muatan ciri khas ponpesnya, yaitu di masjid tadi harus ada halaqonya jadi tidak cukup hanya belajar di kelas saja,” katanya.


Selanjutnya, kata dia, ponpes itu wajib ada pondoknya, yang namanya ponpes harus ada pondoknya, harus ada santrinya yang belajar harus ada kiyai yang mengajar dan tempatnya di santren, santren itu yah!, di mushalla atau masjid dan yang kelima harus jelas ada kitab rujukannya, baik dia itu dalam bentuk ponpes Salafi atau Khalafi. 


Kalau dia Khalafi maka dia harus ada kurikulum, kalau dia Salafi harus punya rujukan kitab-kitab yang mu’tabaroh (kita-kitab yang populer), jadi kalau disebut didunia Islam mana saja orang tahu buku tersebut, contohnya kalau dia belajar tafsir maka dia memakai tafsir Jalalain, tafsir Jalalain ini di seluruh dunia orang pasti tahu.


“Jadi kalau membuat tafsir-tafsir sendiri dengan mengartikan jihad dengan saling bunuh saling perang, maka bukan kitab rujukan namanya. Jadi sekali lagi kitab ruju¬kan di sini adalah kitab yang mu’tabaroh/yang populer atau yang sudah terkenal didunia Islam dimanapun. Makanya kalau kita usut semua itu maka UBK ini tidak memiliki semua itu,” tegasnya.


Menutup keteranganya Kakanwil Kementerian Agama NTB, Drs. H.L. Suhaemi Ismi, menyampaikan bahwa pihaknya tidak setuju dengan istilah kecolongan untuk kementerian agama terkait kasus yang terjadi di UBK, karena fungsi pihaknya pada pembinaan. 


“Ketika lembaga tersebut itu tidak memenuhi kriteria sebagai suatu lembaga ponpes, tetap kita melakukan pendekatan-pendekatan, tetapi jika dia tetap tidak mau menerima kita atau menolak kita maka ini menjadi suatu permasalahan.


Oleh sebab itu kedepannya, untuk antisipasinya kita tidak ada lagi cara lain. Harus kompak semuanya, instansi-instansi pemerintah harus kompak, ormas-ormas juga harus kompak dan masyarakat dalam arti luas juga harus kompak dalam mencermati apa yang terjadi disekitar kita untuk cepat saling memberikan informasi,” pesannya. (GA. 321*)
×
Berita Terbaru Update