-->

Notification

×

Iklan

Kuatnya Kontrol Dewan, Pertanda Kuatnya Kualitas Wakil Rakyat

Tuesday, August 16, 2011 | Tuesday, August 16, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-08-16T05:12:23Z
Oleh: Imam Ahmad

Wakil Rakyat dipilih bukan dilotere, akan tetapi wakil rakyat dipilih rakyat untuk menjadi jembatan mereka dalam mengontrol jalannya kekuasaan eksekutif agar tetap berada pada right track. Kuatnya control Dewan, menunjukkan bahwa sesungguhnya kualitas wakil rakyat ini juga. Bila sebaliknya, jika wakil rakyat cenderung bersikap melempem dan tidak kritis dalam mengawasi kekuasaan eksekutif, maka ini menunjukkan rendahnya kualitas para wakil rakyat. Selama beberapa tahun terakhir, kita semua mendengar
bahwa Hasil penyusunan dan pelaksanaan laporan keuangan di Pemerintah Provinsi NTB lagi berada dalam suatu problem besar. Tahun 2009 lalu saja, BPK RI menggaris bawahi ratusan item yang dianggap bermasalah dalam laporan penyusunan dan pelaksanaan APBD Provinsi NTB. Dan pada tahun 2010, laporan penyusunan dan pelaksanaan APBD Provinsi digarisbawahi dengan predikat Disclaimer oleh BPK RI. Pada pelaksanaan Sidang Paripurna DPRD NTB, ramai-ramai fraksi DPR NTB (kecuali Fraksi Demokrat) memperlihatkan tajinya sebagai pengontrol yang kritis. Mereka mengkritisi Laporan Keuangan Pemprov NTB yang dihadiri oleh Sekda NTB, H. Muhammad Nur, SH., MH., yang mewakili Gubernur NTB. Dalam Sidang Paripurna DPRD NTB yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD NTB, L. Muhammad Syamsir, ramai-ramai fraksi Dewan ini membeberkan sejumlah kegagalan eksekutif serta kritik mereka atas kinerja keuangan dan kepatuhan terhadap peraturan. Bahkan, fraksi dewan beranggapan sidang paripurna tersebut tidak perlu dilakukan karena eksekutif tidak mampu memenuhi syarat yang diwajibkan undang-undang dalam penyampaian LKPD.
Fraksi PKS melalui jubirnya Abdul Hadi, misalnya, menganggap struktur APBD NTB tahun 2010 tidak sehat. Alasannya, proporsi anggaran belanja dan operasional pemerintah terlampau tinggi. Eksekutif, menurutnya kehilangan visi jika dilihat dari politik anggaran yang lemah. Anggaran publik tidak mendapat prioritas sebagai bentuk keberpihakan terhadap masyarakat. Proporsi anggaran dan kinerja ini menunjukkan bahwa eksekutif Pemprov NTB gagal dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Visi besar eksekutif menurunkan kemiskinan hingga 14 persen dan menempatkan NTB di posisi papan tengah dalam IPM se Indonesia tidak akan bisa diwujudkan dilihat dari anggaran yang ditetapkan. Alokasi anggaran untuk memperkuat ekonomi kecil juga masih belum mendapat perhatian. Sektor perdagangan dan industri hanya satu persen dari total kegiatan ekonomi daerah. Padahal, komoditas unggulan yang diproduksi mampu mewarnai 20 persen perekonomian NTB. BUMD yang seharusnya mampu memegang peranan dalam sektor ekonomi ini justru gagal memberikan manfaat positif bagi daerah. PT Bank NTB tidak mampu menunjukkan kinerja mengangkat perekonomian daerah. BUMD cenderung membebani keuangan daerah, seperti yang ditunjukkan PT Gerbang NTB Emas. BUMD yang tidak memiliki masa depan ini seharusnya dipertimbangkan kembali keberadaannya.
Fraksi Bulan Bintang juga tidak kalah kritisnya. Melalui jubirnya Lale Yaqutunnafis, FBB mengkritisi mulai dari persoalan kinerja birokrat, hingga penuntasan proyek BIL yang dianggap tidak tuntas. Fraksi PBB juga menganggap PT AP telah melakukan kebohongan terkait kapasitas bandara yang tidak bisa didarati pesawat besar. Eksekutif juga diminta memperkuat ikhtiar dalam pengurangan kemiskinan di NTB. Serta penanganan persoalan aset maupun keuangan yang telah membawa pemprov meraih opini disclaimer dari BPK RI. Disclaimer ini menurut FBB, bukanlah hal biasa tapi luar biasa. Fraksi PDI Perjuangan melalui jubirnya Endang Yuliarti meminta aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan terhadap sejumlah kasus yang diindikasikan sebagai tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Khususnya di RSUP NTB, seperti adanya selisih pembayaran hingga Rp 300 juta dalam proyek pembangunan RSUP NTB Dasan Cermen. Keberadaan rekening penampung yang dimiliki RSUP NTB, sejumlah Rp 1 miliar digunakan secara langsung tanpa tujuan yang jelas, serta adanya pencairan dana proyek hingga Rp 3 miliar, tanpa melalui prosedur yang rasional. SP2D proyek diterbitkan hanya satu hari setelah penandatanganan SPM, padahal perlu dilakukan pemeriksaan apakah proyek dikerjakan benar-benar sesuai kontrak atau tidak.
Sementara, Fraksi PPP melalui jubirnya Nurdin Ranggabarani menganggap belum adanya kelengkapan dokumen yang diberikan eksekutif menjadi persoalan mendasar yang mestinya bisa dijadikan alasan fraksi tidak memberikan pendapat atau tidak menggelar paripurna. ‘’LKPD belum disesuaikan dengan LHP BPK, dan eksekutif tidak melengkapi LKPD dengan lampiran neraca BUMD,’’ tandasnya. Tidak hanya menyoal eksekutif dari kinerja, sejumlah fraksi dewan juga menyuarakan agar Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi segera melakukan evaluasi terhadap sejumlah pejabat yang dianggap gagal dan tidak becus bekerja yang bisa membahayakan posisi kepala daerah. Dalam penyampaian pandangan fraksi, para wakil rakyat ini juga kompak mendesak eksekutif untuk segera mengambil alih lahan eks LTDC seluas 1.250 hektare yang kini dikuasai PT Bali Tourism Development Corporation (BTDC). BTDC tidak lagi berwenang mengelola kawasan mandalika resort sebab pemberian HPL lahan ini hanya jika PT Emaar Properties berinvestasi pada saat itu.
Dengan gagalnya PT Emaar berinvestasi, maka gugur juga alasan penguasaan HPL ini. Dan PT BTDC dianggap tidak memiliki kapasitas pengembangan kawasan karena hanya sebagai perusahaan pengelola aset. Tidak ada satupun fraksi yang menolak wacana ini. Bahkan Fraksi PBB mendesak agar eksekutif membentuk tim khusus untuk menangani persoalan ini. Pandangan fraksi-fraksi dewan ini sesungguhnya menjadi sebuah alat ukur bagi rakyat akan daya kritis yang dimiliki oleh para wakil rakyat ini pada saat mereka dipilih oleh rakyat menjadi wakil mereka di lembaga Dewan. Wakil Rakyat yang kritis, tidak boleh membeo atau hanya bisa duduk, diam, dan dengar saja terhadap apa-apa yang dilakukan oleh pihak eksekutif. Langkah selanjutnya adalah bagaimana proses tindaklanjut kedepannya terhadap berbagai rekomendasi atau pernyataan kritis dari berbagai fraksi dewan ini oleh lembaga-lembaga terkait yang berkompeten untuk menuntaskannya. Sebab, alat ukur final dari semua proses ini adalah output riel yang dihasilkan. Apakah akan menguap seiring dengan berjalannya waktu. Ataukah semuanya akan menemukan jalan penyelesainnya masing-masing. Just wait and see. Wallahu’alam Bissawab.*).
×
Berita Terbaru Update