-->

Notification

×

Iklan

Akademisi Sorot Pengadaan Batik ‘Sasambo’ di Pemkot Bima

Tuesday, August 16, 2011 | Tuesday, August 16, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-08-16T05:50:03Z
Dinilai Matikan Pengrajin Lokal
Kota Bima, Garda Askota.-
Tidak libatkan pengrajin tenunan lokal Bima dalam pengadaan pakaian batik ‘Sasambo’ untuk PNS Pemkot Bima yang menghabiskan anggaran APBD sebesar Rp900 juta, mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi. Seorang akademisi, Drs. Arif Sukirman MH, mempertanyakan kebijakan Pemerintah Kota Bima yang tidak memfungsikan budaya dan potensi lokal sebagai pengenalan budaya.
Bukankah Walikota Bima sering meng¬utarakan ingin mewujudkan pembangunan Kota Bima demi mewujudkan kesehjateraan masyarakat, namun konsep yang dibangun hingga saat ini belum jelas arah dan tujuan¬nya seperti program seribu taman, sasambo, pertambangan marmer, convention hall hingga pembangunan pelabuhan. “Lalu apakah hasil ini bisa maksimal,
mengingat banyaknya program pemerintah yang ingin dicapai kedepannya, justeru yang ditakutkan Pemkot Bima tidak mempunyai konsep pembangunan arah yang jelas. Terlebih tidak dilibatkannya pengusaha kecil maupun pengrajin tenunan dalam proyek pengadaan Sasambo ini,” sorotnya.
Menurut Arif Sukirman, jika saja para pengrajin tenunan dilibatkan, tentu akan menyerap banyak tenaga kerja dan meng¬angkat taraf ekonomi rakyat. “Jika saja dengan uang Rp900 juta diberikan kepada pengrajin tenunan, tentu banyak pengrajin mendapatkan pekerjaan. Dan ini tentu saja berdampak positif bagi peningkatan taraf ekonomi masyarakat,” tegasnya.
Kepada wartawan, pihaknya justru mempertanyakan kepada pihak pegawai maupun staff Pemkot Bima yang bekerja, apakah mereka tidak berani memberikan masukan setiap kebijakan yang diambil oleh Walikota Bima, karena ini masalah nasib dan kondisi masyarakat. “Bila ini mengarah ke materialistik, dapat dipastikan Pemerin¬tah Kota Bima cenderung kapitalis yang menga-baikan aspek social,” cetusnya.
Rupanya, bukan hanya pihak akademisi yang menyorot kebijakan pengadaan batik ‘Sasambo’ yang diperuntukan bagi 4. 926 pegawai lingkup Pemkot Bima tersebut. Ternyata, para pengusaha kecil maupun pengrajin kain tradisional Bima, justru sangat menyesalkannya. Hal ini diungkap¬kan oleh salah seorang pedagang tenun kain khas Bima, Hj. Hajnah (52-thn). Kepada sejumlah warta-wan ia mempertanyakan mengapa kebijakan yang dike¬luarkan oleh pemerintah Kota Bima harus memajukan pengu¬saha lain yang berada di luar Kota Bima. “Padahal ada pengusaha maupun pengrajin kecil seperti kami kenapa tidak diberdayakan dan dibantu. Apalagi dalam bulan ini belum ada order pemesanan baju, usaha kami sepi,” keluhnya.
Diakuinya, permintaan pemesanan baju, selendang maupun sarung tenunan Bima mengalami penurunan drastis, tidak seperti tahun lalu yang tetap ada permintaan dari masyarakat maupun satker dan instansi yang sudah memesan jauh hari sebelumnya.
Pemerintah Kota Bima, katanya, selalu mendengung¬kan bahwa kebijakan untuk kesehjahteraan masyarakat, namun kenyataannya justeru sebaliknya. “Dengan adanya pengadaan batik Sasambo kepada seluruh pegawai Pemkot Bima tanpa dilibatkan kami sebagai pengusaha kecil untuk diajak kerjasama, karena kami selaku pengusaha kecil dan pengrajin tenunan ingin dapat di angkat kesehjateraan,” cetusnya.
Akibat dari pengadaan yang dilakukan Pemerintah Kota ini justeru memberi dam¬pak pada omset penjualan, dalam sebulan saja biasanya mereka mendapat permintaan baju sekitar 15 sampai 20 baju dengan pendapatan sekitar Rp15 juta. Namun kini, pihaknya mengalami kesulitan baik dari aspek pemasaran maupun tenaga kerja.
Hal senada juga diungkapkan oleh pengrajin penenun asal Raba Dompu lainnya, Siti Rabiah (42-thn). Dirinya mengakui pengadaan pakain Sasambo ini berdampak buruk pada ekonomi rakyat. “Apalagi selama puluhan tahun saya bekerja sebagai penenun, belum pernah memperoleh bantuan. Bahkan sudah memasukkan proposal di Diskoperindag Kota Bima, hingga saat ini bantuan tersebut belum pernah diterima. Ketika saya tanyakan kembali proposal tersebut, pihak Diskoperindag Kota Bima tidak pernah mengembalikan dengan alasan hilang,” ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, Kabag Humas dan Protokol Kota Bima, Muhammad Hasyim, S.Sos, SH, Mec.dev, menjelaskan bahwa pengadaan pakaian ‘Sasambo’ ini tidak dihajatkan untuk mematikan pengrajin penenun di Kota Bima, namun sebagai alternative untuk menjadi salah satu pakaian jadi yang sebelumnya mendampingi tenunan yang telah dipakai sebelumnya.
“Kenapa kita memilih Sasambo, karena sudah dipilih menjadi ikon NTB dan sekaligus menjadi pakaian wajib pada saat Apeksi mendatang,” jelasnya.
Ketika ditanyakan oleh awak media mengapa uang pengadaan lewat PBD tersebut tidak digunakan untuk perbaikan pembangunan saja, karena yang menerima pakaian tersebut adalah pegawai tanpa harus membayar sepeserpun?, Hasyim mengatakan bahwa haknya pegawai untuk mendapatkan fasilitas.
“Pegawai juga kan rakyat, jadi mereka juga mendapatkan hak,” sahutnya. Sedang¬kan terkait dengan pernyataan pengusaha kecil yang mengeluhkan pengadaan batik ‘Sasambo’ berdampak buruk pada usaha kecil, dinilainya kondisi itu hanya untuk sementara waktu saja. “Setelah beberapa bulan kedepan diharapkan kembali normal,” katanya. (GA. 334*)
×
Berita Terbaru Update