-->

Notification

×

Iklan

Membangun Etika Transparasi Pengusahaan Pertambangan Dalam Kaitan Dengan Otonomi Daerah

Tuesday, June 21, 2011 | Tuesday, June 21, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-06-21T05:25:41Z
OLEH : FAUZIA TIAIDA

Otonomi daerah adalah instrumen bukan tujuan. Secara mendasar, penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintah daerah dan masyarakat daerah untuk memaksimalkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dalam prakteknya, di negara-negara berkembang pemberian otonomi daerah seringkali mengalami distorsi tujuan.

Otonomi daerah didefinisikan secara mutlak sebagai kewenangan dan bukan tanggung jawab. Tidak mengherankan jika otonomi daerah pada akhirnya hanya menjadi otonomi bagi sekelompok orang atau elite di daerah. Kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah menjadi terabaikan. Hal ini disebabkan oleh karakter elite lokal di negara-negara berkembang yang cenderung korup, kesadaran dan kemampuan masyarakat yang rendah untuk melakukan kontrol, dan peran media yang masih belum optimal.
Sesuai dengan tujuannnya, maka penguatan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota dimaksudkan untuk meningkatkan participatory democracy dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kewenangan yang dimiliki, kabupaten/kota dapat menentukan sendiri prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berbagai Peraturan Daerah yang semula harus disetujui oleh pemerintah pusat terlebih dahulu, dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah secara mandiri. Hal yang sama juga terjadi di berbagai perizinan investasi, hal mana daerah dapat menetapkan dan memberikan izin tanpa persetujuan dari pemerintah pusat.
Tidak terkecuali adalah kewenangan untuk memberikan izin usaha pertambangan dalam lingkup wilayah usaha pertambangan di tingkat kabupaten/kota. Dengan otonomi daerah diharapkan prosedur investasi akan dipermudah sehingga potensi daerah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam pandangan penulis, pembahasan mengenai urusan pertambangan yang dapat didesentralisasikan atau diserahkan kepada pemerintah daerah terlebih dahulu harus merujuk pada pasal-pasal konstitusi yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan penguasaan kekayaan alam oleh negara. Jika ini disepakati, maka pasal 33 ayat 3 UUD 1945 harus diberikan analisis hukum untuk menjustifikasi dapat tidaknya urusan pertambangan didesentralisasikan. Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 disebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Komentar hukum terhadap pasal 33 ayat 3 UUD 1945 ditujukan pada tiga aspek dasar yaitu (1) Bumi, air dan kekayaan alam, (2) dikuasai oleh negara, (3) sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan konstruksi kalimat tersebut dapat dipastikan bahwa bidang pertambangan merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam frasa kekayaan alam. Sehingga pengelolaan bidang pertambangan juga harus memperhatikan dua aspek lainnya yaitu dikuasai negara dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Aspek penting lainnya yang harus dianalisis dalam pengusahaan pertambangan dalam konteks otonomi daerah adalah perkembangan politik lokal. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa desentralisasi bukanlah tujuan tetapi instrumen untuk menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis dan efisien. Meskipun demikian, jika dilakukan secara tidak hati-hati, desentralisasi justru akan mengarah kepada praktek-praktek bad governance. Desentralisasi juga memiliki bahaya (the dangerous of decentralization), bukan saja keuntungan. Sehingga pemberian kewenangan yang sangat luas kepada daerah otonom tetapi tidak disertai dengan pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah jutsru kontradiktif dengan tujuan otonomi daerah.
Urusan pertambangan adalah urusan yang sangat sensitif dengan isu politik lokal. Banyaknya gerakan-gerakan separatis yang ditimbulkan oleh isu kekayaan alam pertambangan adalah sekadar contoh untuk menyatakan bahwa jika tidak diatur dengan baik hal ini akan berubah menjadi satu bahaya. Sementara dari sisi masyarakat, kesadaran dan pengetahuan untuk dapat mengontrol kinerja dan perilaku pemerintah daerah sangat terbatas. Hal yang sama juga menyangkut media massa lokal yang belum terlalu kuat untuk mengontrol keputusan-keputusan elite lokal. Kharakter-kharakter politik lokal semacam ini dapat menjadi lahan yang subur bagi munculnya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Praktek-praktek bad governance dalam pengelolaan pertambangan ini akan terjadi, manakala sejumlah orang dan atau perusahaan dijanjikan untuk diberikan konsesi atau izin usaha pertambangan jika memberikan dukungan dalam proses pemilihan langsung kepala daerah.
Hal ini semakin dipersulit dengan kenyataan, bahwa birokrasi daerah juga dicitrakan sebagai birokrasi yang buruk dan tidak kompetens. Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan oleh pemerintah Kabupaten/Kota dapat menjadi ladang pendapatan ilegal bagi birokrasi. Konsekuensi lanjutannya adalah pemberian IUP dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) tidak memperhatikan prosedur standar, melainkan atas kepentingan ekonomi para birokrat. Jika ini terjadi, maka pengusahaan pertambangan hanya akan memberikan kemakmuran bagi sekelompok orang, merusak lingkungan dan tidak memberikan kemakmuran bagi masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat oleh usaha-usaha pertambangan dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung dalam pengertian ini adalah bagaimana Izin Usaha Pertambangan juga menyertakan persyaratan pemanfaatan potensi dan tenaga kerja setempat dalam semua proses pertambangan. Tentu saja pemanfaatan tenaga kerja setempat harus disertai dengan peningkatan kompetensi masyarakat, sehingga dapat terlibat secara baik dalam proses eksplorasi, eksploitasi dan produksi. Tidak semata-mata karena tuntutan untuk mengadopsi kepentingan masyarakat lokal.
Dalam rangka memfasilitasi kemitraan tersebut, maka peran pemerintah daerah akan sangat penting untuk membuat kerangka dasar hukum dalam keputusan dan peraturan daerah yang menjamin kewajiban dan hak pemegang IUP pada satu sisi, serta hak dan kewajiban masyarakat pada sisi lainnya.
Pemerintah daerah adalah fasilitator dan moderator yang dapat menjembatani kepentingan pemegang IUP dan masyarakat lokal. Kegagalan pemberdayaan masyarakat oleh pemegang IUP, biasanya disebabkan pula oleh ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menjadi fasilitator yang baik, sehingga program-program community development hanya bersifat charity dan konsumtif. Bukan sebaliknya yang bersifat produktif sehingga dapat menciptakan lapangan kerja yang baru dan pusat-pusat pertumbuhan baru.
Disamping sebagai mitra, masyarakat juga diharapkan dapat berperan sebagai pengawas dalam pemberian IUP oleh pemerintah daerah dan juga dalam pelaksanaan IUP di Wilayah Usaha Pertambangan. Seperti telah dijelaskan, praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dalam pemberian IUP oleh pemda kepada perorangan dan badan usaha dapat berpotensi menimbulkan interaksi ekonomi politik. Hal yang sama juga dapat terjadi dalam pelaksanaan usaha pertambangan maupun dalam pungutan penerimaan negara dari usaha pertambangan. Dalam pelaksanaan usaha pertambangan masyarakat harus dapat mengontrol bahwa seluruh proses pertambangan telah memenuhi syarat-syarat analisis dampak lingkungan serta tidak menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya musibah alam maupun penyakit kepada masyarakat. Pengawasan ini harus dilakukan oleh masyarakat, karena masyarakat mengetahui dan merasakan secara langsung dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha pertambangan. Disamping itu, pemerintah dan elite lokal yang cenderung korup dapat membiarkan proses pertambangan yang tidak ramah lingkungan. Dalam tahap penerimaan negara dari usaha pertambangan, kontrol masyarakat dibutuhkan agar tidak ada penerimaan negara yang hilang oleh adanya kesalahan hitung yang disengaja maupun tidak disengaja. Sebagai penutup penulis berharap agar pengaturan pengusahaan pertambangan dalam otonomi daerah harus memperhatikan kharakter politik lokal yang ada. Mungkin kita patut bertanya mengapa etika transparasi harus di bangun dalam segala lini kehidupan, dampak signifikan dari membangun etika transparasi adalah terwujudnya pelayanan publik yang prima yang mencerminkan good governance yang akan semakin merwujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang madani. Akan tetapi sebaliknya apabila etika tranparasi tidak di jalankan sebagaimana mestinya, tentu saja akan banyak faktor yang juga dapat mempengaruhi, mulai dari inefisiensi pemerintahan, korupsi yang akut, sampai pada membangun infrastruktur nurani tranparansi yang akan semakin terabaikan.
Faktor terakhir menarik untuk dianalisis, karena pada saat kemiskinan masyarakat semakin tidak terkontrol, jumlah pembangunan infrastrusktur yang tidak layak pakai, ironisnya lagi seakan setiap orang berlomba untuk memakmurkan dirinya sendiri dan kelompoknya , tetapi apapun tujuannya. Hanya satu yang semakin terlupakan bahwa keberadaan pembangunan secara global seharusnya semakin dapat dirasakan manfaatnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.*)

Penulis adalah pemerhati pelayanan publik dan good governance
×
Berita Terbaru Update