-->

Notification

×

Iklan

PERJALANAN HIDUP ORANG SEORANG

Wednesday, May 4, 2011 | Wednesday, May 04, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-05-04T00:26:07Z
Budaya adalah penjelmaan manusia dalam sikapnya berhadapan dengan lingkungan alam dan sosial masyarakat yang sangat beragam, polaritas tradisional dan modern terus-menerus menjadi obyek penelitian dan kajian, yang saya angkat dari bacaan buku para filsuf, budayawan, negarawan, ulama, guru, seniman dan lainnya, dari zaman ke-zaman.
Seorang yang maju adalah seorang yang percaya kepada kenisbian pendapatan sehingga karena keimanannya ia tidak ragu-ragu menyatakan pendapat, kepercayaan, dan hasil-hasil penelaahannya. Masa lalu bagi seorang medern adalah tempat ia merujukkan arah perkembangan, tetapi titik berat usahanya adalah perbaikan-perbaikan yang didorong oleh harapan hari ini dan masa depan. Ia begitu percaya dengan dirinya dan pada keterbatasan-keterbatasan yang dihadapinya sehingga antara dia dan lingkungan selalu dicari harmoni dan saling melengkapi.

Dalam disiplin rasionalitas dan intelektualisasi keilmuan, dan dalam kesadaran waktu akan kita temui kata adil. Adil adalah ketepatan. Adil adalah takaran yang pas. Tidak ada wujud kebaikan tampa memenuhi keadilan. Tak bisa terjadi kebenaran jika tidak ada adil. Keindahan juga tidak bisa mengelak dari hakikat adil karena keadilan adalah terhindar dari kekurangan dan kelebihan. Kata ”adil” lebih universal dan tidak memiliki bias relativitas budaya, lebih tidak tergoyahkan sebagai patokan nilai, karena sumber dan acuanya memang bukan mekanisme sosial budaya suatu masyarakat. Pada masyarakat Indonesia, ”adil”atau keadilan sudah diadopsi menjadi istilah umum.
Lalu terjadilah pembusukan dalam tubuh etika, hukum, birokrasi, sosial, budaya. Akal budi mati suri akibat pembusukan itu. Korupsi, kolusi, nepotisme, dan fitnah, menzalimi telah menjadi bagian dari budaya kekuasaan. Keadilan dijualbelikan, hukum ditempatkan sebagai ajang permainan bahasa. Ironisnya. Rakyat ditindas oleh sekelompok kecil kaum istana, pendopo, yang bermahkotakan tahta dan kekuasan. Kasus-kasus masih saja mengapung dalam tumpukan tampa ada penyelesaian yang jelas. Itulah yang sedang terjadi di negeri ini. Negeri yang penduduknya sering menepuk dada sebagai kawasan jamrut yang gemah ripah loh jinawe.
Bila kita diam untuk menutupi kesalahan yang kita lakukan, kita juga telah meneguhkan tanda zaman edan. Seseorang dengan sangat jelas melakukan kesalahan yang merugikan masyarakat. Bukti-bukti melimpah. Masyarakatpun meminta pertangung jawabannya. Namun, dia hanya diam. Bahkan mencari kambing hitam dan memutarbalikkan hukum untuk berkelit dari tuduhan.
Saatnya kita bicara, membangun ingatan sosial masyarakat tentang sejarah, dengan kerinduan, kegelisahan, dan harapan untuk membangun masa kini dan masa depan. Ingatan sosial dalam konteks ini, bukan hanya sekedar bekas goresan, tetapi mengenal kembali bekas-bekas goresan. Sebab, banyak dari bekas goresan ingatan manusia yang terhapus dan (sengaja) dilupakan. Untuk menata kembali ingatan sosial, upaya yang kita lakukan tidak sekedar meluruskan sejarah atau mengoreksinya dengan menulis kembali secara benar, tetapi juga harus diarahkan untuk menata kembali infrastruktur ingatan sasial atau sejarah.
Bangsa/negeri ini memang perlu membangun sebuah ruang pengasahan spiritual dari puing-puing dan reruntuhannya. Moral, betapa pun, mesti disampaikan. Sebab, manusia tidak bisa mencapai kesempurnaan spiritualnya tampa pernah memupuk akar kehidupan dalam diri melalui perenungan mendalam. Dan politik-kekuasaan akan kehilangan makna sejatinya, bila tidak diletakkan dalam bingkai etik sebagai pelayan.
Kita sekarang memang jauh lebih makmur, tetapi semuanya dengan hutang dan dengan pengurasan potensi apa saja untuk generasi sekarang. Dan kemakmuran itu ternyata hanya buat lapisan teratas dari negeri kita. Bagian terbesar dari rakyat ini masih miskin tidak mengalami perbaikan nasib sejak zaman penjajahan. Dan kita pun sebagai bangsa akan selalu menjadi bahan cemoohan bangsa-bangsa lain dan menjadi obyek eksploitasi ekonomi terselubung. Pada sisi lain, ini menggambarkan betapa para elite tidak punya kesiapan untuk mengetaskan bangsa ini dari ketergantungan kekuatan asing. Apalah artinya, bila kita hanya dapat mengurus diri sendiri atas tekanan, arahan dan rangsangan hutang yang diberikan dari negara lain. Dalam alam kemerdekaan itulah kata Bung Karno kita membangun menurut pola dan yang sesuai dengan kehendak kita sendiri; itulah hakekat dari kemerdekaan yang diperjuangkan sekian lama dengan pengorbanan yang tidak terhingga.
Belajar kearifan dari jejak-jejak yang ditinggalkan sebelumnya untuk kemudian membangun peradaban baru. Peradaban yang menyangkut kearifan dan kemanusiaan untuk mengukuhkan kembali eksistensi nilai dan kesadaran dari dalam kehidupan. Upaya semacam itu penting guna memahami hakekat hidup. Kita harus berani belajar kearifan dari kebodohan-kebodohan yang selama ini di lakukan.
Dunia dibuat tidak berjarak. Di dalamnya banyak jejak dapat kita temukan, panorama yang terbentuk sarat informasi yang disimpan. Ekstasi, libido, abnormalitas, skizofrenia, konsumerisme, globalisasi, hiperealitas, cloning, AIDS, posmodernisme, neospiritualisme, krisis moneter, bencana sunami, gempa bumi adalah sederetan jejak-jejak realitas yang ditinggalkan oleh melinium kedua dan ketiga. Telah banyak gaya yang punah, banyak sistem yang ditinggalkan, banyak struktur yang didekonstruksi, banyak bahasa yang diputarbalikkan, banyak tabu yang dilecehkan. Sesuatu mencapai titik akhir, ketika ia menggapai titik kelenyapannya dan mulai bergerak menuju titik baliknya.
Dunia keagamaan telah kehilangan nilai spiritual. Keagungan Tuhan luntur, Konsep diri telah punah. Manusia tak lagi mempunyai rasa malu. Keadilan dijual dalam ruang persidangan oleh penegak hukum, janji palsu diobral dalam kampanye politik oleh politikus. Masyarakat telah untuk memiliki rasa malu. Di sinilah kemudian terjadi proses produksi besar-besaran berbagai bentuk kerancuan dan kekacauan berpikir. Kepincangan itu dapat kita lihat dalam konsep filosofis yang dibangun bahwa akal dan indera, selama ini dipuja oleh banyak orang sebagai dua obyek pengetahuan yang menjadi tolak ukur dalam mengkonsepsikan segala bentuk realitas. Sementara kalbu yang bersifat batini-irfani dicela, karena bertolak belakang dengan akal dan indera.
Akal melahirkan rasionalisme, dan indera melahirkan sensualisme, empirisme, materialisme dan positivisme. Akal, obyeknya bersifat abstrak dan paradigmanya logis, sedangkan indera obyeknya bersifat empiris dan paradigmanya sain. Keduanya menolak yang non-empiris. Konstruksi pemikiran yang terbangun kemudian sangat positivistik. Bahaya/gawatnya, karena kalbu (intuisi) dicela dan yang non-inderawi tidak diakui, eksistensi Tuhan dengan segala kelemahan-Nya lalu menjadi sesuatu yang dikesampingkan, bahkan dalam titik ekstrimnya diyakini bukan sebagai suatu realitas. Meinstream logika demikian kemudian menupulkan segala bentuk kearifan dalam diri manusia, karena manusia kehilangan kesadaran spiritualitas dan moral ilahiah. Logika sangat mudah dibangun bukan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, tapi untuk mencari lubang berkelit dari kejahatan dan kesalahan.
Memijam teori Al-Ghazali, yang terjadi kemudian aktivitas kemanusiaan yang liar dan kacau dengan model-model berpikir yang memproduksi konsepsi dan praksis yang membahayakan bagi kehidupan umat manusia. Ini terjadi, karena pintu kalbu yang menghadap pada dimensti ilahiah telah tertutup rapat. Filsafat yang mestinya sebagai wahana pembentukan nilai, posisinya telah bergeser sebagai ajang produksi konsep-konsep, bukan menyelamatkan, tetapi justru menyesatkan. Agama (Islam) juga agama lain, dengan konsep tauhidnya, misalnya, tidak menolak akal dan indera sebagai dua alat pengetahuan. Islam menolak jika keduanya dipandang sebagai absolut. Sebab, agama tidak menolak adanya obyek supralogis dan non-empiris. Tetapi suatu pengetahuan dan pengalaman di mana obyek (Tuhan) dan subyek (manusia) pengetahuan itu menyatu dalam konteks citra. Artinya, kualitas ”pertemuan” itu menjadi meningkat kualitasnya ketika dalam diri manusia proses pencitraan citra-cita Tuhan meningkat. Artinya, kita mesti berproses secara kualitas dengan ”meniru Tuhan”. Jika Tuhan Maha Adil, kita mesti mampu berbuat adil. Jika Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kita juga mesti mampu menabur kasih sayang di seluruh semesta. Rasulullah Saw, bersabda, ” Ya, Allah, karuniakanlah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu serta kecintaan jadikan diri-Mu lebih aku sukai daripada air yang dingin”..
Kita, tentu yakin bahwa agama diturunkan Tuhan untuk memberikan keselamatan umat manusia. Ini adalah prinsip dasar dari semua agama yang diyakini oleh setiap pemeluknya. Tetapi, mengapa agama bisa menjadi sumber bencana. Atas nama agama, kekerasan dan kematian bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja?. Kondisi semacam ini terjadi karena kebusukan telah mengusik ruang suci agama. Agama yang seharusnya menjadi sumber keselamatan satiap manusia, dijadikan dalih oleh sebagian pemeluknya untuk melahirkan bencana dan kematian, kita semua berharap dan memohon pada Tuhan agar semua ini tidak akan pernah terjadi lagi.
Dalam sebuah riwayat, Ibni Habib, meriwayatkan; pribadi Aisyah istri Nabi, yang mempunyai karakter mendidik, dan sesunguhnya dalam dirinya bukanlah sesuatu yang watak. Yang dikisahkan dalam perang Jama (Perang antara pasukan Ali dan ‘Aisyah). Ini kata yang terucap dari ‘Aisyah “Demi Allah, kalian tidak akan disiksa seperti apa yang ditimpakan kepada kalian. Dan apabila kalian sabar tentu akan lebih baik”. Semoga Allah menjadikan kita semua bersaudara dan mengharamkan harta dan darah kita semua. Ibnu Mas’ud kemudian membacakan ayat yang berbunyi sebagai berikut, ” Wahai orang-orang yang beriman Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan jalan yang bathil kecuali dengan sebuah transaksi yang saling ikhlas, sesunguhnya Allah Maha Penyayang”. Dan Ayat, ”Barang siapa yang membunuh seseorang Mukmin, Maka balasannya adalah Neraka Jahannam”.
Pasukan kedua belah pihak tidak hanya terdiri dari masyarakat umum dan para pengacau tetapi juga terdiri dari para Qori, hakim dan pakar hukum Islam di mana mereka terbagi menjadi dua, satu kelompok bersama Ali sedangkan kelompok lain bersama ’Aisyah. Yang paling mengesankan adalah masing-masing kelompok ingin saling menyalahkan argumentasi dan ingin agar peperangan tidak terjadi sebelum akar permasalahannya menjadi jelas hingga akhirnya persoalan itu memberikan suatu udzur antara Allah dengannya.
Rakyat dengan seksama tetap melindungi ’Aisyah dan mereka mayoritas berasal dari golongan Bani Dhobbah dan Azad di mana mereka berteriak kepada Ali ”berikanlah kepada kami sunnah Abu Bakar dan Usman”. Ketika Ali melihat itu ia segera mengutus Yaman dan Rhabi’ah untuk mengumpulkan orang-orang yang ada disekeliling kalian. Kemudian berdirilah lelaki dari golongan bani Qa’is berteriak kepada pasukan ’Aisyah; Kami mengajak kalian untuk kembali kepada kitab Allah Azza wa jalla”.
Bahwa kedua golongan itu saling menyerang, Ali melihat bahwa golongan Kufah akan segera mengalahkan golongan Basah dan akan diimbangi oleh golongan Basrah, maka berkatalah dari salah satu golongan, ”Mati itu tidaklah akan mudah diliputi oleh kelalaian, orang lain akan menemuinya dan tidak akan mudah ditinggalkan oleh orang yang mukmin”.

Dari hati yang ditunjukkan itu dengan keiklasan berperang muncullah ahli fiqih yang sangat agung dari sisi ’Aisyah. Ia adalah Amr bin Yasrib sebelum Ka’ab bin Syuar. Ia adalah pimpinan pasukan unta setelah terbunuhnya Ka’ab bin Syuar. Ia kemudian bersyair;

”Wahai ibuku, istri Nabi
Istri yang penuh barakah dan hidayah
Kami adalah Banu Thabbah murni yang tidak akan terpecahkan
Hingga kami bisa melihat syetan-syetan itu
Yang hanya menimbulkan kekacauan dan keresahan”.

”Ibuku telah menyuruhku maju ke medan pertempuran dan kami akan mematuhi melalui pertimbangan yang matang.
Pertolongan Ibnu Dabbah kepada ’Aisyah dan pendukungnya sudah tersebar
Ketaatan kami kepada orang Quraisy adalah sebuah ketololan
Pertolongan kami terhadap penduduk Hizaj juga sebuah kebodohan
Ketaatan kami terhadap Bani Tam Bin Murrah adalah suatu kecelakaan karena mereka tak lain orang-orang penghasut”.

”Wahai ibu, hiduplah kamu dan jangan merantau
Makanlah, karena anak-anakmulah yang akan mematahkan takaran
Usman bin Affan telah memberi tahukan kematiannya kepadamu
Ka’ab bin Syu’ar adalah orang yang membuka baju besi itu
Kelompok Fardi tetap menolong Tuannya dan Kelompok Azad tetap
Sebagai kelompok yang sangat murah hati dalam menolong”.

Masyarakat mengikuti komando pasukan unta dan mereka banyak yang terbunuh. Muhammad bin Thalhah dan sambil memegang komando ia berkata; ”Wahai ibu lewatkanlah aku dengan perintahmu”, ’Aisyah menjawab: ”Saya memerintahkan agar kamu jika meninggalkan medan perang menjadi baik seperti anak adam yang lain”. Rakyat terus mengelilingi keberadaan ’Aisyah sehingga banyak yang gugur di sampingnya. Dan seperti yang telah disampaikan bahwa mereka mencari kematian sebagai suatu nilai yang terbaik hingga dikatakan ”Mati tidak akan memberhentikanmu dari memimpin pasukan unta karena mati tetap bersamamu dan ada di sarungmu”.





Salah satu pendukung ’Aisyah juga menjadi panas dan menjawabnya dengan syai’ir ”

”Wahai ibu kami! Kedekatan kami telah cukup bagimu
Jika masa mengambil tali kekang itu mereka akan menahannya
Dan sekarang di sekelilingmu telah terdapat orang-orang yang siap melakukan serangan dari berbagai penjuru.
Sedangkan kota akan diramaikan dengan derup orang-orang yang siap melarikan diri.
Orang-orang yang mempunyai kekuasaan sedikit sekali yang tersungkur
Dan golongan kelompok Bani Azad tidak mempunyai bekas debu dalam derap kaki mereka”.

”Wai ibu, wahai ibu! Tanah airku tidak akan aku khianati
Aku tidak akan mencari liang kubur maupun kain kafan
Ini adalah perkumpulan ’Auf bin Qothan.
Jika mereka sekarang tidak mengadili Ali
Atau membiarkan kedua putranya Hasan dan Husein
Maka mereka akan diselimuti dengan perasaan susah selama-lamanya”.

Ali mempunyai pandangan bahwa ia mempunyai kewajiban untuk melakukan pencegahan sebagai tindakan penyelamatan terhadap nyawa-nyawa yang masih tersisa hingga korban tidak tambah banyak ia kemudian berkata, ” Berhentilah kalian menyerang kelompok ’Aisyah”. Orang yang terakhir terbunuh pada saat itu adalah Zafir bin Haris yang telah memegang bendera pasukan unta dengan keadaan tergeletak di depan Ali. Mereka mengelilingi tali kekang itu dan dipanggil oleh pendukung Ali, ”Kalian adalah orang-orang yang aman” Sejak itulah antara satu kelompok dengan yang lain menghentikan peperangannya.
Ali dan para tokoh ummat Islam bukanlah orang yang lupa terhadap keberadaan ’Aisyah. Ketika Ali berada di sisi ’Aisyah, ia berkata: ”Jika kamu menjauh dari masyarakat dan mereka pun menjauhimu”. Kamu juga telah membangkitkan perselisihan di antara mereka sehingga mereka satu sama lain saling membunuh”. Dan perkataan lainnya.
’Aisyah menjawab: ”Wahai Ali bin Abu Thalib! Mudahkanlah (dalam mencari solusi) sekarang ummatmu memang tengah dicoba”. Ali bertanya: ”Dalam hal apa? ”Semoga Allah mengampuni kita sekalian”. ’Aisyah menjawab: ”Semoga juga mengampuni kita semuanya”.
Ali kemudian memerintahkan saudara kandungnya dan Imar untuk memasukkan ’Aisyah ke Basrah. Merekapun melaksanakannya di mana Muhammad meletakkannya di rumah Abdullah bin Khallaf Al-Khuza’i yang ditemani oleh Syafiyah putri Haris yang merupakan keluarga Thalhah. Peperanganpun akhirnya usai dan rakyat bersama-sama pulang ke tempat masing-masing. Ali pun juga melepaskan segala kesusahan yang menyelimutinya selama ini dan dengan penuh hati (khusyu’) ia berdo’a kepada Allah sebagai berikut, ” Kepadamu ya Allah ! Aku mengadukan urat dan perutku Dan perkumpulan yang menutupi pandanganku. Di antara mereka sudah saling bunuh dan aku sendiri telah membunuh perkumpulanku sendiri meskipun sekarang aku mengobati diriku dari kesalahanku”.
Ia (Ali) memangil anggotanya dan berkata, ” janganlah melukai satu orangpun, mengikuti ajakan orang tertentu dan menyakiti satu kelompok yang lain. Barang siapa yang menyarung pedangnya, ia akan selamat dan barang siapa yang mengunci pintu rumahnya ia juga akan selamat”.
Kejadian itu terjadi sejak awal siang dan berakhir sekitar menjelang waktu ashar ketika kekalahan diterima oleh pasukan ’aisyah tepatnya pada hari kamis (sebagai lagi mengatakan jum’at), pertengahan bulan Jumadil Akhir dan Tahun 36 Hijriyah.
Bebaskanlah diri Anda dari sikap-sikap negatif yang menghalangi jalan anda untuk mencapai kesuksesan dan kemulian-Nya, kuasailah cara yang dipergunakan oleh pengusaha yang berhasil diseluruh dunia. Belajarlah menggunakan kekuatan pikiran untuk mengubah dan menguatkan orang yang membutuhkan pertolongan dari kejauhan.
Kesabaran, kemurahan, cinta kasih, kemauan baik, kegembiraan, kebahagiaan, kebijaksanaan, dan pengertian merupakan sifat yang tidak menjadi tua. Peliharalah dan nyatakanlah supaya Anda tetap muda dalam batin dan badan. Kita tidak menghitung tahun-tahun seorang kecuali ia tidak punya apa-apa untuk dihitung. Kepercayaan dan keyakinan anda tidak terpengaruh oleh pembusukan. Tuhan itu hidup, dan itulah hidup Anda sekarang. Hidup itu memperbaharui sendiri, abadi, tak dapat hancur, dan menjadi kenyataan semua orang.
Seorang yang sukses itu tidak mementingkan diri. Keinginan utama dalam hidupnya ialah melayani kemanusiaan. Tidak ada suskes yang sebenarnya tampa kedamaian Jiwa. Seorang yang sukses memiliki pengertian psikologi dan spiritual.
Marilah kita sekarang mencintai para pendahulu kita dan memaafkan kesalahan mereka dan kesalahan kita sendiri. Kita harus berterima-kasih kepada mereka, karena merekalah yang telah bercucuran keringat di dalam memperjuangkan Agama (Islam, agama lain) dengan harta, jiwa mereka. Ini sebagai bentuk balas budi kepada para pendahulu kita yang telah berjasa dalam membesarkan agama kita. Mereka dalam memusuhi sesama Islamnya, pasti tampa rasa dendam tapi penuh dengan cinta dan kasih sayang meskipun harus saling mengadu kekuatan.
Semoga perbedaan itu, menjadikan kita bisa mengambil ibarat di dalam menyikapi segi-segi negatif yang membayang-bayangi besar dan kecilnya persoalan yang kita hadapi sebagai manusia (ummat Islam). Semoga diri kita, negara kita dan anak cucu kita kemudian dapat menjauhi segi-segi negatif tersebut. Wallahu a’lambissawwaf.


Jum’at, 15 April 2011

Dr.Mariani
×
Berita Terbaru Update