-->

Notification

×

Iklan

Image Guru Monster

Wednesday, March 30, 2011 | Wednesday, March 30, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-03-30T01:15:38Z
Oleh Rafika, S. Pd

Cobalah kita tanya kepada guru-guru pada masa pasca kemerdekaan, atau kita menyimak film-film kolosal yang berlatar atau beralur guru-guru tempo doeleo. Jawabannya tentu sangat berbeda dengan siswa dan guru zaman sekarang. Mengapa demikian ?
Guru adalah “Corong” bagi masyarakat terhadap perkembangan kualitas dan kuantitas pendidikan, dan guru harus memberikan jawaban yang pasti dan akurat kepada masyarakat terhadap prestasi pendidikan yang dicapai. Karena akan ada masanya setiap kebohongan itu akan “terpublik” Sentilnya Umar H. M. Saleh, S.Pd (Kasek SMA Negeri I Bolo ketika rapat Dinas 16 Maret 2011)

Dulu ketika pasca kemerdekaan siswanya dipaksa dan dididik ala militer atau digora ( gogo rancah). Siswa diibaratkan dengan lahan yang sangat kritis sehingga perlu digogo rancah ( Dan penulis pernah mengangkat karya tulis dengan judul; Teknik Gogo Rancah untuk Menunjang Keterampilan Berbicara pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia) Judul tulisan ini pernah diikutseratakan dalam lomba kreativitas guru oleh Depdiknas Jakarta tahun 2003.
Istilahnya kita mendidik dan mengajar siswa diibaratkan “mengukir di atas batu” karena seberat apapun lahan dan medan yang diarungi pasti pada akhirnya akan membekas dan meninggalkan tapak . Karena memang setiap aktivitas akan berarti dan menghasilkan bila dilakukan dengan seksama dan kolaboratif, Sigmund Freud (Psikolog) Dan setiap pekerjaan yang baik dan buruk pada akhirnya kita akan memetik “kembangnya”, Willian Shakespeare (Raja Sastrarawan)
Lalu bagaimana dengan murid zaman sekarang ? ditengah saratnya kemajuan teknologi apa “Iya”, kita masih meng-Gora siswa ? Apakah siswanya masih dikatakan “lahan kritis” sehingga sangat membutuhkan “pupuk dan insektisida” ? Apakah siswa masih perlu diberi hukuman “berdiri angkat kaki sebelah” di depan kelas ? Apakah siswanya masih perlu diberi ganjaran untuk menghafal materi dua sampai tiga bab ?
Tetapi jangan sampai kita ketinggalan teknologi dan dikalahkan oleh siswa. Kita tidak boleh tertinggal jauh dibelakang tentang browsing internet dan sama sekali tidak bisa menjelajah dunia melalui dunia maya. Kita segala-galanya harus lebih tahu dan unggul dari siswa, Ir.Indra Djati Sidi, Ph.D (Mantan Direktur Jend Pend.Dasar & Meneg, Depdiknas)
Teknik gogo rancah sepertinya tidak cocok lagi diterapkan , karena dulu tidak pernah ada tindakan barbar pada siswa, tidak ada siswa ugal, tidak ada siswa morfinis, tidak ada internetan dan tidak ada siswa-siswaan. Siswa kini lebih majemuk dan peka terhadap perkembangan.
Begitu juga dengan guru-guru, yaitu guru yang sebenar-benarnya guru. Ya… guru yang digugu plus ditiru atau istilahnya, Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Jadi siswanya tidak dan bukan mengguru dan meniru pada behavioris ala selebritis.
Melihat dinamika yang diiringi dengan derapnya teknologi semuanya harus disesuaikan dan diseleraskan. Sedikit saja tindakan yang melenceng akan fatallah semuanya. Guru harus jeli melihat cela dan ruang untuk memasuki alur pikiran dan keinginan siswa . Karena siswa berada pada titik rawan yang memposisikan dirinya kepada pilihan masa depan yang pas dan tepat.
Tidak perlu ada tindakan ala militer di dunia pendidikan, tetapi ciptakan suasana yang nyaman, bersahabat, kreatif, loyal, kolaboratif , bertanggung jawab, dan beriman kepada siswa. Siswa dan guru harus ada kedekatan dan hubungan yang terarah dan sistematis sehingga pendidikan kita bertujuan .
Kedekatan, keakraban, silaturahim, dan aplaus dari guru dan siswa bukan berarti akan mengurangi dan menurunkan “Citra dan martabat guru” di mata siswa dan publik. Melalui kebersamaan dan kekeluargaan yang bertujuan semua cita-cita pendidikan yang ingin kita capai akan sukses dan terarah, begitu pesannya Umar H.M. Saleh, S.Pd (Kasek SMA Negeri I Bolo ketika rapat dinas 16 Maret 2011) Tidak perlu kita pasang muka angker, monster, apatis kepada siswa karena akan membuat “Batas” dan “Garis Merah” yang menghalang cita-cita pendidikan.
Tindakan dan sikap yang berlebihan dan “kaku” malah akan menimbulkan image yang keliru dan salah kaprah.Dan lebih sarkas lagi kita malah dicap ” bersembunyi” dibalik keapatisan.
Ruang belajar yang damai, demokratis, evaluative, asri, inovatif , variatif, kompetatif, adalah sisi urgensial untuk tercapainya tujuan pendidikan, Howard Gardner .Kalau siswa tidak damai dengan lingkungan belajarnya, alamat siswa akan shock learning dalam pembelajaran.Dan bukanlah dikatakan sebuah prestasi, ketika siswa merasa ‘takut’ kepada gurunya. Dalam artian siswa tidak ‘dekat’ dengan gurunya. Ketika anak dididik dalam lingkungan yang harmonis dan layak, mutunya bisa lebih dijamin dari pada dididik ditempat yang “kaku dan mencemaskan”. Dan ujung-ujungnya akan berpengaruh kepada kualitas SDM kita.
Ketika pendidikan menengok terus ke belakang dan dibayang-bayang oleh romantisme masa penjajahan, adalah sebuah “ mimpi” bila mengharapkan sekolah yang sejajar dengan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sekarang persaingannya nyata sekali dan sangat ketat dan tantangannya jauh lebih seru. Jadi siapa yang tidak memperhatikan kualitas, maka dalam sekejap saja sudah ketinggalan semakin jauh dan kita akan menjadi penonton yang abadi di panggung percaturan ilmu pengetahuan dan teknologi. Atau memang kita malah senang dan bangga ketika selalu mengekor terus di belakang ? Kesuksesan siswa adalah kesuksesan gurunya dan kegagalan siswa adalah kegagalan pendidikan, Ir. Indra Djati Sidi, P.hD. Dan pendidikan yang “gagal”, adalah ciri “Kemunduran”. Mari kita bekerja lebih baik dan amanah!

Penulis adalah Pengajar di SMA Negeri I Bolo
×
Berita Terbaru Update