-->

Notification

×

Iklan

Valentine’s Day Semarak Merusak Moral

Friday, February 18, 2011 | Friday, February 18, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-02-26T04:04:57Z
Oleh. Mukhlis Abdullah*

Nabi Muhammad SAW bersabda : “Tidak beriman seseorang yang tidak mencintai sesamanya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. “ Dalam ajaran Islam saling mencintai dan kasih sayang merupakan perintah dan bagian dari iman, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan akhlak, bukan pergaulan bebas atau kebebasan dalam pergaulan yang menyimpang, melanggar nilai-nilai moral dan akhlak.

Pada tiap tahun setiap tanggal 14 Pebruari, mall-mall, toko buku dan hotel berbintang dengan menyediakan warna khas Valentine’s Day (VD) warna pink mendominasi. Ini didukung secara luas oleh media massa baik cetak maupun eletronik. Para dekoratorpun mendesain sesuatu mulai dari boneka sampai pakaian dengan warna khas pink gambar hati (love, red) sebagai ungkapan kasih sayang. Bersamaan dengan itu pula, restauran, hotel berbintang, bioskop, juga bar menyediakan menu khusus perayaan Hari Kasih Sayang.
Tempat usaha itu memperoleh kekuntungan besar dengan menonjolkan nilai komersialitas dengan gaya hidup yang hedonistik atau semata mengejar kesenangan belaka. Sebenarnya berkasih sayang tidak perlu menunggu tibanya 14 Pebruari, karena kasih sayang itu merupakan kebutuhan manusia setiap saat. Para pendukung peristiwa yang terjadi pada zaman Romawi abad ke 17 itu, mendapat sambutan hangat ABG --- anak baru gede, remaja dan orangtua yang ‘haus’ kasih sayang. Momentum ini amat sangat istimewa buat mereka.
Seolah-olah menginjeksikan semangat baru dalam merayakan VD. Perayaan ini tiba di Indonesia berkat jasa para pelajar dan mahasiswa yang menuntut ilmu pengetahuan di luar negeri. Sambil menuntut ilmu pengetahuan juga meniru budaya hedonistis sebagai jelmaan dari budaya penuh tahayyul ala gereja. Kisah perjalanan cinta kasih sang remaja, orangtua yang berbunga-bunga alias romantis dirayakan dengan glamour. Mengapa antusiasme ABG dan remaja merayakan VD? Bagaimana VD itu bisa sampai ke Indonesia? Lalu bagaimana sikap orangtua, pendidikan dan agamawan menyikapinya? Adakah relevansinya VD dengan kebudayaan kita? Tulisan ini ingin memfokuskan pada pertanyaan tersebut. Ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang budaya VD.
Bagi ABG dan remaja dengan semangat yang menggebu-gebu VD karena dianggap dapat memberikan keberanian untuk mengungkapkan kasih sayang yang buka pada tempatnya. Sebagian mereka menyalahartikan makna kasih sayang itu. Trend perayaan ini merupakan dosa warisan yang memprihatinkan dan mengkhawatirkan orangtua, pendidik, dan tokoh agama karena budaya itu seolah memberikan justifikasi (pembenaran) tentang hubungan laki-laki dan wanita untuk berdua-duaan yang bukan muhrimnya yang dalam ajaran agama (Islam) tidak dibenarkan.
Di satu sisi, mereka harus menumbuhkan prilaku, tutur kata dan tindakan yang baik dan sopan santun. Di sisi lain, perayaan VD justru menginfiltrasikan budaya yang bertentangan baik agama maupun budaya bangsa dengan budaya hedonistis. VD merupakan bagian dari penjajahan kebudayaan, dengan kedok modernisasi yang dibungkus rapi dengan westernisasi. Bahkan saat ini sebagian generasi kita kehilangan arah, lebih barat lagi dari orang barat. Inilah suatu penjajahan kebudayaan yang harus disadari kembali, agar nilai ketimuran tidak tergadaikan. Karena perayaan hari kasih sayang ini tidak mengakar dalam budaya bangsa maupun nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama Islam khususnya.
Untuk itu, kita harus menyadarinya bahwa budaya dapat dijadikan senjata pamungkas kelompok anti Islam untuk menjauhkan generasi muda dari ajaran agamanya. Apalagi asal usul VD sebagai peristiwa masa lampau dari seorang pendeta beragama Katolik, bernama Saint Valentino salah seorang pendeta yang menikahkan sepasang remaja, lalu sang Kaisar yang berkuasa saat itu memberikan hukuman pancung. Rezim yang berkuasa melarang remaja untuk menikah karena tenaga remaja masih dibutuhkan untuk berperang.
Perayaan ini muncul setelah pendeta agama kristen Katolik mengizinkan untuk merayakannya sebagai perhormatan terhadap sang pendeta yang dipancung tersebut. Pasca meninggalnya Saint Valentino oleh Paus Gelasius dijadikan sebagai hari kramat. Perayaan itu pertama kalinya di Inggris. Perayaan ala gereja itu dilakukan sebagai bagian dari pesta anak-anak muda, di mana laki-laki dan perempuan yang berpasang-pasangan dengan menuliskan nama masing-masing pasangan dilanjutkan dengan tukar menukar kado sebagai ungkapan kasih sayang. Selanjutnya pesta itu dilanjutkan dengan hura-hura, mubazzir bersama-sama semalam suntuk (sampai pagi). Entah, apa yang mereka lakukan pasangan muda mudi itu semalam suntuk. Ini artinya, perayaan hari kasih sayang itu merupakan bagian pabrik kemaksiatan yang dilarang oleh Islam.
Budaya Hura-Hura
Para pendukung perayaan VD itu mendapat sambutan hangat berbagai negara termasuk Indonesia. Budaya hedonistis ini seharusnya dicampakkan karena budaya tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan Islam. Perayaan ini jelas tidak sesuai dengan perayaan tahun baru hijriah, maulid nabi, idul fitri dan lain sebagainya. Perayaan itu jelas tidak patut dirayakan oleh generasi muda muslim, karena dapat merusak aqidah dan mentalitasnya. Budaya itu seharusnya ditolak dan ditantang untuk mempertahankan kemuliaan dan kesucian generasi muda muslim.
Momentum perayaan ini memunculkan trend baru melalui pengiriman kartu ucapan selamat VD, berisi pesan kasih sayang sampai pada penukaran kado berupa bingkisan atau sesuatu. Pesta yang disekspresikan melalui ungkapan kasih sayang itu terkadang bukan sekedar ungkapan kata-kata tetapi sampai melakukan hubungan intim laiknya suami isteri. Nauzubillahi min zdaalik.
Perayaan ini sebagai ungkapan kebebasan, yang menarik simpatik cukup luas. Melalui kebebasan ini muda-mudi berhak menentukan nasib sendiri termasuk memilih jalan hidup yang dianggapnya baik dan benar. Termasuk budaya ritual Valentine yang di-infiltrasi-kan melalui budaya free sex, free love, kumpul kebo, termasuk gonta ganti pasangan itu layak dalam kehidupan modern negara maju. Yang jelas budaya tersebut, memunculkan ketakutan secara global yang dijelmakan dengan penyakit HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Penyakit sosial (Pathology sosial) ini akibat para pendukung kebudyaan yang kebablasan dengan mengekspresikan sebuah kebebasan.
Belum lagi, kehamilan par-nikah, kasus aborsi serta kebejakan moral lainnya meningkat dan menyerikan masa depan anak manusia. Untuk itu, tugas kita bersama untuk membimbing generasi muda kita sebagai estafeta kepemimpinan bangsa ini ke depan. Dengan demikian, hamonisasi budaya dalam kehidupan berrumah tangga dengan kembali menghayati nilai-nilai agama yang melakukan hubungan baik manusia dengan manusia lainnya dan hubungan manusia dengan Al-Khaliq-Nya (hablum minannasi wa hablum minallah, pinjam bahasa Qur’an).
Dengan mengadopsi budaya permissive (budaya yang serba membolehkan) termasuk budaya VD ini jelas bertentangan budaya bangsa. Budaya yang patut dibangun sekarang adalah gerakan hidup sederhana-hemat harus dimulai dari rumah tangga lalu menginjeksikan dalam kehidupan masyarakat. secara nasional harus dimulai dari presiden, wakil presiden, para menteri/jajaran serta DPR. Bukan budaya hedonistik seperti yang dilakukan Mr. TK --- Taufik Kiemas yang merayakan hari ulang tahun dengan hura-hura dan menghabiskan banyak materi, sekalipun itu hak hak pribadi MR. TK, tetapi akan selalu dikaitkan dengan jabatan yang disandang isterinya. Apatah lagi, kesulitan dan kesengsaraan yang tengah mendera dengan kenaikan harga kebutuhan manusia. Mulai harga BBM, telpon, tarif dasar listrik dan insya Allah menyusul tarif angkutan umum. Adalah budaya budaya tolong menolong bagi yang punya kepada yang tidak punya, lemah kepada yang kuat amat dibutuhkan. Ketimbang melakukan pemborosan. Ini penting, karena rasa kesetiakawanan sosial penting di tengah kesengsaraan rakyat sangat manusiawi dari merayakan VD yang sarat pemborosan. Karena budaya pemborosan atau budaya berlebihan itu merupakan teman syaitan.
Generasi muda yang memperturutkan pemikiran sempit bukan melalui pertimbangan luas dan matang, akan merugikan masa depannya. Seharusnya pertimbangan matang, yang memunculkan sikap kritis sangat diperlukan. Ide kebebasan seperti perayaan VD itu cenderung memojokkan posisi generasi muda muslim dengan menumbuhkan budaya latah yang tidak diketahui juntrungan.
Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia harus melalui mekanisme yang tepat, artinya tidak melanggar aturan yang berlaku dengan tidak mencampakkan ajaran agama. Hal ini termasuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan termasuk dalam berbusana. Mulai busana takwa (libasuttaqwaa) bagi wanita. Misalnya laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya untuk menundukkan pandangan. Perempuan harus memakai pakaian muslimah (jilbab) sebagaimana Allah jelas dalam QS. An-Nur [24]:31, QS. Al-Ahzab [33]:59. Dan begitu hadis memberikan gambaran itu.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa budaya VD tidak mengakar dan bertentangan agama dan budaya. Pesan VD yang dipadankan dengan hari kasih sayang itu dalam Islam tidak seartinya mawaddatau wa rahmah yang ada dalam Qur’an. Karena Valentine itu lebih didasari nafsu kebinatangan manusia, sedangkan kasih sayang dalam Islam itu lebih didorong oleh kasih sayang yang tuluh ihlas. Oleh karenanya, generasi muda harus bersikap selektif untuk menerima budaya luar yang cenderung mencekoki generasi muda muslim. Adalah sangat arif dan bijaksana, orangtua dan para pendidik untuk memberikan pemahaman yang integral dan utuh untuk bersikap dan berprilaku sehingga generasi muda memahami apa dan bagaimana seharusnya bertindak. Generasi muda merupakan megatrend yang membangun moralitas dan mentalitasnya. Semoga generasi muda tidak mudah ikut latah terhadap budaya tidak sesuai dengan budaya bangsa ini, karena generasi muda merupakan penyejuk dan pelita dalam pencerahan dan pencerdasan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa mendatang. ***

Jakarta. 14 Februari 2011
×
Berita Terbaru Update