-->

Notification

×

Iklan

Gila Hormat

Thursday, February 3, 2011 | Thursday, February 03, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-02-26T06:51:37Z

Oleh Rafika,S.Pd


Seringkali
kita memberikan hormat kepada Bos kita, rekan kerja yang lebih tua, sejawat yang sederajat, atau orang yang menurut kita pantas dan layak untuk dihormati. Model pemberian hormat itu dengan menganggukan kepala, dengan sedikit menbungukkan badan, suara yang dipermanis disertai cengkokan, atau seulas senyum manis penuh makna dan sarat tanda tanya.
Kapan moment seremonial itu ada ? kapan saja dan di mana saja. Yang penting ada objek dan subjek ! Rasa hormat itu sudah di-Stel, direkam , tinggal diputar, maka beraksilah rentetan narasinya. Sederhana tetapi pasti, karena memang sudah pakarnya.
Ya… tak ubahnya acting actor dan aktris sinetron kolosal
Kepada siapakah sebenarnya yang patut kita dihormati? kepada semua orang mulai dari nol tahunkah ? kepada Juragankah ? kepada boskah? Kepada pimpinankah ? kepada muridkah ? Kepada orang tua ? Kepada tetanggakah ? Kita harus membudayakan sikap “saling Menghormati” di lingkungan sekolah dan masyarakat, mulai dari cleaning service sampai ke pimpinan, karena akan menumbuhkan kebersamaan, kerukunan, dan kedamaian yang sempurna, pesannya Umar H. M . Saleh ( ketika kegiatan Imtaq, 28 Januari 2011). Tak ada perbedaan status sosial, intelegensi, jabatan, usia , atau label. Semuanya adalah sama dan patut kita hormati!
Tetapi jangan sampai kita memberikan hormat dengan motif tendesi semata, karena akan menumbuhkan sikap kepalsuan belaka. Sikap hormat yang dibuat-buat, tidak tulus, akan melahirkan aktivitas semu dan serba kamuflase. Gila-gilaan memang, dan semuanya akan berakhir dengan kegilaan yang membabi buta, Emha ainun nadjib (Budayawan) . Dan jangan sampai kita maniak dengan hormat yang dibumbui “Penyedap Rasa” , alias gila hormat . Akan beda dan akan kelihatan model personal seperti ini. Karena ekspresi dan body language adalah perwakilan ekspresi dari hati dan pikiran yang jernih, Sigmund Freud ; Psikolog.
Mengapa mesti ada dan lahir tindakan hormat yang serba tendesi ? Ya…. Karena semua yang bergelut di arena atau komunitas tersebut tidak tulus dalam bersikap. Kalau sampel yang disodorkan alamiah saja, dan tidak neko-neko, akan mustahil muncul sikap yang dibuat-buat. Ada keterkaitan antara objek dengan subjek yang di sorot. Seperti pameo, tidak akan ada abu kalau tidak ada asap, apalagi kalau asapnya dikipas-kipas, abunya pasti akan bertambah panas dan meluber. Kalau tidak ingin abunya banyak, janganlah menyulut api sehingga tidak akan ada asap yang membuat kita batuk dan mata kita memerah. Sehingga ke depannya kita tidak mampu lagi bersikap objektif dan realistis menyikapi semua dilema yang ada.
Anda mau dan suka disodori dengan sikap yang gila-gilaan ? Atau kita memang gemar mendapat service yang bohong-bohongan ? Jawaban yang objektif adalah tanyakan pada hati nurani ! karena Kata hati tidak akan pernah berbohong dan tidak bisa diajak kompromi. Tetapi dalam mengambil keputusan, kita pun tidak boleh mendewakan suara hati dan nurani. Semua keputusan haruslah objektif, realistis, tanpa melihat status sosial , dan latar belakang, Alfred Adler (psikolog).
Sikap yang ditunggangi oleh keinginan yang beraroma finansial, keinginan untuk mendapat tempat “basah”, keinginan untuk mendapat job, dan keinginan untuk “dianak emaskan”, akan menyuburkan sikap “hormat misterius”. Keinginan itu sebenarnya sah-sah kalau melewati koridor yang tepat dan pas. Tetapi ketika ditempuh jalur yang melenceng dan “jalan Pintas”, sangatlah miris dan dagel dihadapan mata publik.
Tindakan kita yang tidak lahir dari hati, pekerjaan yang tidak sesuai dengan kompetensi, akan melahirkan kinerja yang asal-asalan , sehingga selanjutnya menjadi sebuah wacana yang tak habis-habisnya yang dililit oleh dilematik. Janganlah memaksakan diri untuk terjun dibidang yang super dan menjadi incaran publik kalau tidak sesuai dengan merek, Karena ujung-ujungnya akan melegalkan segala teknik untuk mencapai tujuan.
Ketika keinginan itu akan dijanjikan dan direbutkan, maka akan “memBeo-lah”, tindakan kita selanjutnya. Karena dituntut oleh keinginan untuk mendapat merek dagang di mata “khalayak”. Dan Kalau berani kontra, berani macam-macam, dan berani main curang, alamat tidak akan dilirik atau malah ditendang, disingkirkan, dibrendel dari paguyuban.
Dimana-mana bisa ditemui personal yang bertindak di luar batas aturan, tindakan yang serba pura-pura,dan serba tendesi. Tetapi ketika keinginan itu sudah tidak bisa diatur, sudah tidak bisa disulap dan sim salabim, sudah tidak bisa diwenangkan . Apakah rasa hormat itu tetap pada porsi maksimal ? Porsi standar ? atau porsi Minimal ? Atau malah buang muka dan pura-pura tidak kenal sama sekali ! Tragis, ironis, sarkas, dan super memalukan !
Sangatlah sakit kalau diselisik, sangatlah radang bila dipendam, sangatlah risau bila dirisaukan, dan sangatlah sakit kalau tidak dilisankan . Tak ada yang abadi di dunia ini, dan tak ada yang tidak mustahil terjadi. Karena hidup dan kehidupan hanyalah dua sisi yang tidak bisa dipilih seperti layaknya coise ketika Ujian Akhir Nasional. Kita harus berani menyikapi setiap tindakan dan fenomena yang disodori.
Ada rasa menjiwai, ada rasa kebersaman , ada rasa tanggung jawab yang luar biasa ketika semuanya lahir dari jiwa yang legal dan bersih. Tak akan ada saling tuding, saling menyikut, saling menggonggong karena semuanya dilindungi oleh rasa ayom dari jiwa yang sama-sama seperjalanan dan seperjuangan. Jiwa yang sama-sama lahir dari keinginan membangun, menciptakan , dan mencetak generasi-generasi yang beriman dan ber-iptek. Dan bukanlah jiwa yang liar yang tidak punya value positif.
Bersikap loyal dan hormat tanpa pamrih,dan menjiwai pekerjaan dengan ihklas adalah pilihan yang sederhana, karena kita tidak akan terbebani oleh keinginan yang tidak sesuai dengan kompetensi yang kita miliki. Dan kita pada akhirnya akan tetap memiliki rasa hormat kepada siapa saja walau sudah tidak bisa memberikan kewenangan yang berarti, amin.

Staff pengajar SMA Negeri I Bolo
×
Berita Terbaru Update